Pengusaha Minta Kelonggaran, Purbaya Kukuh Pangkas Kuota Domestik Kawasan Berikat

Pengusaha Minta Kelonggaran, Purbaya Kukuh Pangkas Kuota Domestik Kawasan Berikat

Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan kuota penjualan ke pasar domestik bagi industri di Kawasan Berikat dari 50% menjadi 25% mutlak dilakukan demi menjaga persaingan usaha yang sehat, meski pengusaha minta kelonggaran.

Purbaya menjelaskan bahwa desain awal Kawasan Berikat sejatinya adalah berorientasi ekspor. Kelonggaran kuota pasar domestik hingga 50% yang sempat berlaku sebelumnya merupakan kebijakan pengecualian atau diskresi akibat ambruknya permintaan global saat pandemi Covid-19.

“Ketika normal lagi malah harusnya nol [kuota domestik]. Kami baru turunkan ke 25% itu sudah cukup,” ujarnya di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Rabu (26/11/2025).

Bendahara negara itu menyoroti adanya ketimpangan apabila fasilitas ini tidak diketatkan. Industri di Kawasan Berikat memiliki keunggulan economies of scale (skala ekonomi) karena kemudahan impor bahan baku dalam volume besar.

Menurutnya, jika produk dari kawasan berikat membanjiri pasar dalam negeri tanpa pembatasan ketat maka industri domestik non-fasilitas akan tergerus karena kalah bersaing dari sisi struktur biaya.

“Biar bagaimanapun, Kawasan Berikat bisa impor banyak di sana, yang domestik pasti ada kerugian di situ. Jadi kami kembalikan ke desain semula saja,” tegasnya.

Selain alasan persaingan usaha, Purbaya juga menyoroti maraknya kebocoran barang dari Kawasan Berikat ke pasar lokal secara ilegal.

Untuk mengantisipasi hal tersebut, Kementerian Keuangan akan memperketat pengawasan arus barang keluar dengan memodernisasi sistem teknologi informasi, termasuk penggunaan kecerdasan imitasi alias artificial itelligence/AI dalam pengawasan impor.

“Katanya banyak bocor barang-barang dari situ. Jadi kita perkuat pengawasan. Sekarang kita taruh sistem IT yang lebih canggih, kita pakai AI,” tutup Purbaya.

Sebelumnya, wacana penurunan kuota pasar dalam negeri industri di Kawasan Berikat disampaikan oleh Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Djaka Budhi Utama.

Purnawirawan perwira TNI ini mengungkapkan perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 131/2018 tengah melalui proses harmonisasi dengan Kementerian Hukum. Dia meyakini aturan baru akan terbit sebelum pergantian bulan.

“Jadi mudah-mudahan bulan akhir November ini itu bisa terealisasi,” ujar Djaka dalam rapat dengan Komisi XI DPR di Kompleks Parlemen Senayan, dikutip Selasa (25/11/2025).

Wanti-wanti Pengusaha

Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mewanti-wanti dampak dari pemangkasan kuota porsi penjualan industri di kawasan berikat ke pasar dalam negeri dari sebelumnya 50% menjadi 25%. 

Adapun, dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 131/2018 tentang Kawasan Berikat disebutkan bahwa kawasan tersebut menjadi fasilitas bagi industri pengolahan yang berbasis ekspor. Namun, beberapa tahun terakhir industri di kawasan tersebut diberikan kuota 50% produksi untuk dijual ke pasar domestik. 

Wakil Ketua Umum Kadin Perindustrian Saleh Husin mengatakan, pihaknya memahami tujuan pemerintah terkait kebijakan pemangkasan kuota ini untuk menjaga level playing field antara industri di kawasan berikat dan industri non-KB. 

“Namun, Kadin menilai bahwa pemangkasan kuota menjadi 25% perlu dilaksanakan secara bertahap dan mempertimbangkan kondisi setiap sektor industri,” kata Saleh kepada Bisnis, Selasa (25/11/2025). 

Sebab, Saleh menyebut, tak semua perusahaan di kawasan berikat tersebut mendapatkan permintaan ekspor yang stabil atau cukup besar untuk menyerap seluruh produksi di pabrikannya.

Dia mencontohkan beberapa sektor seperti tekstil, alas kaki, elektronik, dan furnitur masih menggunakan pasar domestik sebagai penyangga ketika permintaan ekspor melemah. 

“Dalam situasi normal pun, kapasitas ekspor industri-industri ini tidak selalu dapat mencapai 100% output, terutama ketika terjadi perlambatan ekonomi global,” tuturnya. 

Oleh karena itu, menurut dia, kemampuan untuk mengekspor seluruh produksi sangat bergantung pada dinamika pasar dunia dan tidak semua pelaku industri siap untuk sepenuhnya mengandalkan ekspor.

Senada, Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (Himki) mewanti-wanti rencana pemerintah untuk memangkas kuota porsi penjualan industri di kawasan berikat ke pasar dalam negeri (local content quota) dari sebelumnya 50% menjadi 25%. 

Secara regulasi, selama ini PMK No. 131/2018 tentang Kawasan Berikat membuka ruang penjualan ke dalam negeri sampai 50% dari akumulasi ekspor dan penjualan ke KB/KEK lain di tahun sebelumnya.

Ketua Umum Himki Abdul Sobur mengatakan kebijakan pemangkasan kuota domestik memang dapat mengembalikan marwah kawasan berikat sebagai fasilitas yang berorientasi ekspor. 

Hanya saja, dia mengingatkan bahwa saat ini kondisi pasar ekspor mebel dan kerajinan sedang tidak normal dan belum menunjukkan lonjakan berarti di tengah perlambatan permintaan global. 

Dalam catatannya, nilai ekspor furnitur dan kerajinan Indonesia tahun 2023 sekitar US$2,46 miliar, dan tahun 2024 US$2,59 miliar. Bahkan jika dibandingkan 2021, kinerja ekspor furnitur turun sekitar 20%—30% tergantung subsektor.

“Tidak semua perusahaan di kawasan berikat siap mengalihkan 75% produksinya ke ekspor dalam waktu singkat,” kata Sobur kepada Bisnis, Rabu (26/11/2025). 

Terlebih, industri furnitur memiliki ketergantungan pada pasar Amerika Serikat yang sangat tinggi atau 53% ekspor furnitur dan kerajinan Indonesia masih bergantung pada pasar AS, disusul Jepang dan beberapa negara Eropa. 

Artinya, ketika pasar utama melemah atau terjadi gangguan tarif/non-tarif, pabrik sangat bergantung pada penjualan domestik untuk menjaga utilisasi dan menghindari PHK.

Menurut Sobur, banyak anggota Himki di kawasan berikat yang struktur bisnisnya hybrid yaitu sebagian besar output untuk ekspor, tetapi tetap membutuhkan pasar domestik untuk proyek hotel, apartemen, retail modern, dan government procurement untuk menutup fluktuasi order luar negeri.

“Kami mendukung penguatan orientasi ekspor Kawasan Berikat sebagai prinsip, tetapi meminta kebijakan yang sektoral dan bertahap, bukan pemotongan seragam dari 50% ke 25% dalam satu langkah untuk semua sektor,” jelasnya.