Bisnis.com, JAKARTA – Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia (Gapensi) menanggapi rencana pemerintah untuk menunda realisasi kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada 2025.
Ketua Umum Badan Pengurus Pusat (BPP) Gapensi, Andi Rukman Karumpa, menjelaskan bahwa keputusan untuk menunda kenaikan PPN itu perlu dilakukan guna memastikan dunia usaha tetap terjaga dalam menunjang target pertumbuhan ekonomi.
“Saat ini, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 8%. Untuk mencapai target tersebut, perlu ada keseimbangan antara upaya peningkatan penerimaan negara dan penguatan daya saing pelaku usaha dalam negeri,” kata Andi kepada Bisnis, dikutip Jumat (29/11/2024).
Andi juga menambahkan, bila pemerintah tetap bersikeras meningkatkan pendapatan negara lewat PPN 12%, maka hal itu secara langsung bakal memengaruhi bisnis konstruksi dalam negeri.
Pasalnya, kenaikan itu bakal berdampak pada biaya material dan jasa konstruksi, yang pada akhirnya meningkatkan harga keseluruhan proyek. Andi menyebut, hal ini akan memberatkan para pelaku usaha konstruksi, terutama UMKM, karena mereka sering kali beroperasi dengan margin yang sangat tipis.
“Tarif PPN yang lebih tinggi dapat menyebabkan anggaran proyek yang telah direncanakan sebelumnya menjadi tidak mencukupi. Dampaknya dirasakan paling besar oleh kontraktor kelas kecil yang memiliki keterbatasan akses terhadap modal tambahan untuk menutup selisih biaya tersebut,” tegasnya.
Lebih jauh, Andi Rukman bahkan menilai pemerintah sebaiknya juga mengkaji kemungkinan pembatalan kenaikan PPN bukan hanya menunda.
“Saran kami dibatalkan saja rencana kenaikan pajak tersebut” pungkasnya.
Untuk diketahui sebelumnya, Ketua DEN Luhut B. Pandjaitan mengatakan pemerintah tengah menggodok stimulus bantuan sosial kepada rakyat, khususnya kelas menengah, sebelum tarif PPN 12% diterapkan.
“Ya hampir pasti diundur [kenaikan PPN jadi 12%], biar dulu jalan tadi yang ini [bantuan sosial],” kata Luhut kepada wartawan, Rabu (27/11/2024).
Luhut menegaskan, pemerintah harus memberikan insentif kepada masyarakat guna memulihkan daya beli konsumen dan ekonomi rakyat yang dinilai masih sulit.
Kendati demikian, hingga saat ini Luhut menyebutkan bahwa pemerintah masih menggodok perhitungan jumlah masyarakat yang berhak mendapatkan bansos tersebut.