Pengusaha Gugat ke MK, Minta Pajak Hiburan Maksimal 10%!

7 February 2024, 21:55

Jakarta, CNBC Indonesia – Pelaku usaha jasa hiburan yang tergabung dalam Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) menuntut tarif pajak hiburan khusus seperti diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa maksimal 10%.

Ini seiring dengan telah diajukannya judicial review atau uji materil terhadap Pasal 58 ayat 2 Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD) ke Mahkamah Konstitusi, Rabu (7/2/2024).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Dalam Pasal 58 ayat 2 UU HKPD lima jasa hiburan itu dikategorikan sebagai hiburan khusus yang masuk kategori Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) dengan tarif paling rendah 40% dan paling tinggi 75%.

“Ini kita harapkan bisa dikabulkan tarif baru maksimal 10% karena itu yang layak bisa diterima,” kata Ketua Umum GIPI Hariyadi Sukamdani seusai pendaftaran uji materiil terhadap Pasal 58 ayat 2 UU HKPD di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Rabu (7/2/2024).

Hariyadi menjelaskan, besaran tarif maksimal 10% itu mengikuti tarif pajak hiburan lainnya, sehingga tidak lagi ada diskriminasi dalam penetapan pajak untuk jasa hiburan. Dengan dicabutnya Pasal 58 Ayat (2) pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022, maka ia menganggap tidak ada lagi diskriminasi penetapan besaran pajak dalam usaha Jasa Kesenian dan Hiburan.

GIPI juga menganggap bahwa penetapan tarif pajak hiburan yang dimaksud pada Pasal 58 Ayat (2) sebesar 40%-75% dilakukan tanpa menggunakan prinsip-prinsip dasar yang seharusnya digunakan untuk mengambil Keputusan dalam membuat Undang-Undang yang menetapkan besaran tarif pajak.

Hariyadi juga menekankan, pemerintah yang memiliki kewenangan penuh dalam memberikan dan mencabut perizinan berusaha, justru dalam menetapkan Pasal 58 Ayat (2) pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 menggunakan besaran pajak dalam melakukan fungsi pengawasan terhadap perizinan berusaha.

“Hal ini sudah tentu menjadi tidak tepat keputusannya karena berdampak diskriminasi terhadap pelaku usaha yang sudah menjalankan usahanya sesuai peraturan dan perundangan yang berlaku,” tegasnya.

Ia menilai, dampak penetapan pajak yang tinggi adalah usaha hiburan akan kehilangan konsumen dan berakhir pada penutupan usaha serta banyaknya pekerja di sektor hiburan yang akan kehilangan lapangan kerja. Ia mendasari pada tidak adanya jasa hiburan khusus di daerah yang telah menerapkan pajak 40%-75% saat berlakunya UU PDRD.

Sebelumnya, Direktorat Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan mencatat, daerah yang sudah menerapkan pajak hiburan khusus 40%-75% itu diantaranya adalah Kabupaten Siak, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Kabupaten Ogan Komering Ulu, Kabupaten Belitung Timur, Kabupaten Lebak, Kabupaten Grobokan, dan Kota Tual.

Rinciannya, untuk range tarif kisaran 40-50% sebanyak 36 daerah, 50-60% sebanyak 67 daerah, 60-70% sebanyak 16 daerah, dan 70-75% ada sejumlah 58 daerah. Dengan begitu, total sudah sebanyak 177 daerah yang menerapkan tarif pajak hiburan khusus itu dalam rentang 40-75% dalam UU PDRD, dari total sebanyak 436 daerah.

Menurut Hariyadi, dari 36 asosiasi yang dinaungi GIPI, tidak ada satupun jasa hiburan khusus seperti diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa yang hidup di daerah yang menerapkan tarif pajak 40%-75%. Maka, ketika ditetapkan secara umum dengan batasan minimum 40% dalam UU HKPD, dipastikannya tak akan ada lagi jenis jasa hiburan itu di tiap daerah yang berujung pada hilangnya lapangan pekerjaan.

“Saya ambil contoh di Belitung Timur, di sana diskotek 75%, tapi memang enggak ada barangnya, jadi memang kalau sudah begitu memang enggak ada usahanya yang mau bayar segitu,” tegas Hariyadi.

[Gambas:Video CNBC]

Artikel Selanjutnya

Pengusaha Spa Tak Mau Disebut Industri Hiburan, Tolak Pajak 40%

(arm/mij)

Partai

Institusi

BUMN

NGO

Organisasi

Perusahaan

Negara

Topik

Kasus

Agama

Brand

Club Sports

Event

Grup Musik

Hewan

Tanaman

Produk

Statement

Fasum

Transportasi