Jakarta –
Aphantasia merupakan sebuah fenomena langka ketika otak tidak memiliki kemampuan untuk berimajinasi atau membayangkan sesuatu. Hal ini membuat seseorang dengan aphantasia tidak mampu membayangkan gambaran fisik dari suatu hal di dalam otak.
Aphantasia merupakan kondisi yang hanya dipahami oleh orang-orang yang mengalaminya, namun seringkali tidak disadari. Bagi orang-orang secara umum yang bisa berimajinasi, tentu ini seperti semudah bernapas.
“Jika Anda mencoba dan membayangkan pantai, Anda mungkin dapat ‘melihatnya’ dalam mata batin Anda. Pengidap aphantasia tidak mendapatkan gambaran mental itu – gambaran itu kosong,” ucap peneliti dari University of New South Wales Sydney Profesor Joel Pearson, dikutip dari IFL Science, Selasa (14/1/2025).
Sebuah penelitian melibatkan 14 orang dengan aphantasia dan 18 orang kelompok kontrol dilakukan untuk mendalami kondisi ini. Dua kelompok menjalani uji citra visual sebelum menjalani functional magnetic resonance imaging (fMRI) pada otak mereka.
Ketika masuk ke dalam alat pemindai, mereka diminta untuk melihat atau membayangkan pola garis-garis berwarna. fMRI mengukur perubahan kadar oksigen dalam darah yang menunjukkan peningkatan aktivitas otak.
Analisis menunjukkan bahwa mereka yang menderita aphantasia memiliki sinyal aktivitas otak yang berkurang saat mereka hanya melihat garis-garis tersebut dibandingkan dengan kelompok kontrol.
Saat diminta membayangkan pola tersebut, korteks visual otak pengidap aphantasia masih aktif dan menghasilkan informasi visual, tapi gambar-gambaran ini tidak dirasakan secara sadar. Mereka hanya seperti melihat layar yang kosong dalam pikiran mereka.
“Hasil penelitian kami menunjukkan bahwa ketika seseorang dengan aphantasia mencoba membayangkan, otak mereka tampaknya masih menciptakan representasi di korteks visual awal. Otak mereka seolah-olah sedang menghitung tetapi melewatkan langkah terakhir untuk menampilkan hasilnya di layar,” kata Pearson.
“Hal ini memberitahu kita bahwa imajinasi mental bukan hanya tentang otak yang ‘menyala’, tetapi tentang bagaimana aktivitas itu diformat menjadi sesuatu yang benar-benar dapat kita alami,” sambungnya.
Penelitian lanjutan masih diperlukan untuk mengungkapkan keanehan yang terjadi pada otak pengidap aphantasia. Ini juga penting untuk lebih mendalami bagaimana otak dapat menghasilkan imajinasi.
Pearson menuturkan penelitian dengan ukuran sampel yang lebih besar kini diperlukan.
“Penelitian ini menjembatani kesenjangan antara yang terlihat dan yang tidak terlihat. Sungguh luar biasa untuk berpikir bahwa orang dengan aphantasia masih memiliki cetak biru saraf untuk imajinasi, meskipun mereka tidak dapat secara sadar ‘melihatnya’,” tandasnya.
(avk/kna)