Bisnis.com, JAKARTA – Direktur Lingkar Madani Indonesia, Ray Rangkuti, menilai keputusan pemerintah memberlakukan sanksi pemberhentian sementara terhadap Bupati Aceh Selatan merupakan langkah yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Namun di balik itu, dia menyoroti permintaan Presiden Prabowo Subianto kepada Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian untuk mencopot bupati tersebut, yang menurutnya menunjukkan kecenderungan sentralistik dan berpotensi melampaui mekanisme hukum yang berlaku.
“Setelah presiden meminta mendagri mencopot bupati Aceh Selatan, sanksi pemberhentian sementarapun diberlakukan. Sanksi ini, nampaknya, merupakan jalan tengah antara pemberhentian dengan tetap menjabat sebagai bupati,” kata Ray lewat rilisnya, Rabu (10/12/2025).
Menurut Ray, dasar hukumnya jelas. Dalam UU No. 23 Tahun 2014, Pasal 76 ayat (1) huruf i, Mendagri dapat memberikan sanksi pemberhentian sementara kepada kepala daerah yang melakukan perjalanan ke luar negeri tanpa izin tertulis.
“Maka berdasar inilah, sang bupati diberhentikan sementara,” ujarnya.
Ray menambahkan bahwa sanksi tersebut tetap bisa digugat. “Misalnya, jika alasan tidak izin itu tidak ditemukan. Bupati nonaktif dapat menggugatnya,” tuturnya.
Meskipun memahami dasar sanksi administratif, tetapi Ray menilai permintaan Kepala negara agar Mendagri langsung mencopot Bupati Aceh Selatan sebagai hal yang patut dicermati.
Dia memaparkan lima hal yang menurutnya menjadikan permintaan tersebut problematis.
Pertama, Ray menegaskan bahwa pencopotan kepala daerah tidak dapat dilakukan secara sewenang-wenang. UU No. 23/2014 mengatur bahwa pemberhentian tetap harus melalui mekanisme DPRD dan rekomendasi Mahkamah Agung, sementara pemerintah pusat hanya berperan administratif.
Kedua, Ray mengatakan permintaan presiden bukan didorong ketidaktahuan akan mekanisme tersebut.
“Sebagai ketua partai, dan kini menjadi presiden, tentu saja Pak Prabowo hafal dan paham sangat tentang aturan ini. Oleh karena itulah, kita sangat menyayangkan permintaan tersebut. Diaminkan oleh mendagri pula,” kata Ray.
Dia menilai hal itu memberi kesan adanya kuasa presiden yang menjurus ke sikap arogansi. Ketiga, dia menyebut permintaan tersebut mencerminkan cara pandang sentralistik Presiden Prabowo.
Menurut Ray, presiden dipengaruhi latar belakang militer dan pola pemerintahan Orde Baru yang menempatkan presiden sebagai pusat kendali seluruh lapisan pemerintahan. Dia menyebut contoh program retret kepala daerah beberapa waktu lalu sebagai simbol cara pandang itu.
Keempat, dia mengatakan kecenderungan sentralistik juga tampak dari gagasan Presiden untuk menghapus pilkada langsung dan menggantinya dengan pemilihan oleh DPRD.
“Dengan pemilihan kepala daerah melalui DPRD, pada akhirnya akan menempatkan kepala daerah di bawah kendali pemerintahan pusat. Seturut itu otonomi alias desentralisasi diakhiri,” kata Ray.
Kelima, Ray menegaskan bahwa pelanggaran Bupati Aceh Selatan memang tidak bisa dibenarkan, tetapi penyelesaiannya tidak boleh melampaui batasan hukum.
Ray menekankan bahwa penyelenggaraan pemerintahan daerah harus tetap berada dalam koridor hukum dan tidak boleh dipengaruhi keinginan untuk memperluas kontrol pusat.
“Kita mengkritik bupati Aceh Selatan, tapi mencopotnya melalui mekanisme mendagri adalah kekeliruan yang sangat fatal,” tandas Ray.
