Bisnis.com, JAKARTA — Pengamat Telekomunikasi sekaligus Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute, Heru Sutadi, menilai pengembangan jaringan 5G di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan, terutama dari sisi ketersediaan spektrum frekuensi.
Saat ini jaringan 5G di Indonesia masih 10%, sementara itu negara tetangga, Malaysia, disebut telah mencapai 80%.
Heru mengatakan alokasi frekuensi yang digunakan saat ini masih memanfaatkan spektrum lama sehingga kinerja layanan 5G belum dapat berjalan secara maksimal.
“Memang 5G itu kan butuh frekuensi yang cukup besar ya, ada yang mengatakan 50 MHz, ada bahkan 100 untuk optimal, tapi memang kebutuhan frekuensinya lebih besar dibanding 4G,” kata Heru kepada Bisnis, Selasa (28/10/2025).
Heru menuturkan, kondisi tersebut membuat layanan 5G yang ada saat ini belum menunjukkan kecepatan optimal sebagaimana mestinya.
Heru menambahkan , sejumlah pita frekuensi yang seharusnya dapat digunakan untuk layanan 5G belum sepenuhnya tersedia.
“Kalau kita melihat 3G, 4G pada saat itu, itu butuh dua tahun udah bisa langsung lari gitu ya. Nah 5G ini rumahnya aja belum ada, sehingga persoalan untuk memberikan rumah 5G ini menjadi persoalan yang perlu segera diselesaikan,” ujarnya.
Dia menyebutkan, pemerintah kini mulai menyiapkan pelelangan spektrum baru seperti di frekuensi 700 MHz dan 2,6 GHz.
Selain persoalan spektrum, tingginya regulatory cost atau biaya regulasi juga menjadi beban bagi operator seluler.
Heru mengatakan , operator seluler keberatan dengan biaya regulasi yang dinilai cukup tinggi. Karena itu, jika nantinya frekuensi 5G dilelang, para operator berharap harga acuan yang ditetapkan pemerintah tidak terlalu mahal agar beban biaya tersebut tidak semakin besar.
Menurut dia, pelepasan spektrum 5G ke operator dengan harga terjangkau harus dibarengi dengan pemantauan pembangunan infrastruktur dan penetapan target yang jelas oleh pemerintah.
Heru juga menekankan pentingnya pengembangan use case atau penerapan konkret teknologi 5G agar manfaatnya dapat dirasakan luas oleh masyarakat dan industri.
“Karena persoalan 5G di banyak negara itu kan use case. Kalaupun misalnya di Indonesia use case yang mungkin hanya data, untuk kuota, untuk kecepatan segala macam, untuk menonton video apa gitu, tapi kan memang kita berharap ada use case yang lebih juga bermanfaat bagi masyarakat, bagi industri misalnya,” tuturnya.
Hingga 2024, luas permukiman yang tercakup sinyal 5G baru mencapai 4,44%, menurut data Direktorat Pengendalian Komunikasi Digital (Dit. Pengendalian Komdigi, 2025). Dari total 13 lokasi yang menjadi target dalam Rencana Strategis (Renstra) Kemenkomdigi 2020–2024, sebanyak 12 di antaranya sudah terlayani jaringan 5G.
Lokasi tersebut meliputi lima ibu kota provinsi di Pulau Jawa (Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, dan Serang), Ibu Kota Nusantara (IKN), Kawasan Industri Jababeka, serta enam destinasi super prioritas (DPSP) yakni Borobudur, Danau Toba, Mandalika, dan Labuan Bajo. Adapun wilayah yang masih terkendala adalah DPSP Likupang, yang menghadapi hambatan akibat pengelolaan kawasan yang belum optimal.
Sebelumnya, Wakil Menteri Komunikasi dan Digital (Wamenkomdigi) Nezar Patria menyampaikan bahwa pemerintah menargetkan jangkauan koneksi 5G di Indonesia dapat mencapai 32% pada 2030.
“Pemerintahan mencanangkan 32% setidaknya jaringan 5G itu bisa tersambung hingga tahun 2030,” kata Nezar, Senin (28/10/2025).
Nezar menjelaskan, saat ini ketersediaan koneksi internet 5G di Indonesia masih sangat rendah. Per Oktober 2025, jumlahnya baru mencapai 10% dari total populasi, jauh tertinggal dari negara tetangga seperti Malaysia yang telah mencapai 80%. Karena itu, pemerintah terus mendorong kolaborasi seluruh pemangku kepentingan untuk mempercepat pengembangan ekosistem 5G di tanah air.
