Surabaya (beritajatim.com) – Pengamat Hukum dan Pembangunan, Hardjuno Wiwoho menilai kebijakan penambahan jumlah reses Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI melanggar aturan dan membebani keuangan negara.
Kebijakan tersebut meningkatkan jumlah reses dari empat kali menjadi lima kali di tahun persidangan terakhir 2025, khususnya dalam rentang Oktober hingga Desember.
Hardjuno menegaskan bahwa keputusan ini tidak sesuai dengan Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) karena masa reses DPD seharusnya mengikuti masa reses DPR. Pada periode tersebut, DPR hanya memiliki satu kali reses, bukan dua.
“Saya kira, selain melanggar UU MD3, penambahan reses ini tentu akan memberikan tekanan yang berat kepada APBN kita. Ini mencerminkan para pembuat kebijakan di DPD tidak memiliki sense of crisis,” kata Hardjuno saat ditemui di Surabaya, Jumat (17/1/2025).
Hardjuno mengungkapkan keprihatinannya atas besarnya biaya yang dikeluarkan negara untuk membiayai reses tambahan ini. Ia menekankan bahwa uang rakyat harus dikelola dengan prinsip efisiensi dan akuntabilitas.
“Kita tahu uang reses yang diberikan secara lumsum kepada anggota DPR dan DPD cukup besar. Kalau tidak salah setiap orang menerima lebih kurang 350 juta rupiah sekali reses. Sedangkan jumlah anggota DPD sekarang 152 orang. Jadi dikalikan saja, berapa uang APBN yang terkuras untuk penambahan reses DPD RI ini,” tegasnya.
Hardjuno, yang juga dikenal sebagai peneliti dalam studi perampasan aset, menilai bahwa langkah ini bertentangan dengan prinsip efisiensi dan akuntabilitas sebagaimana diatur dalam undang-undang pengelolaan keuangan negara.
Ia menyatakan bahwa jadwal reses DPD dan DPR selama ini telah disinkronkan untuk menjaga efektivitas fungsi legislasi, pengawasan, dan representasi. “Selama ini jadwal sidang dan reses DPD telah disinkronkan dengan DPR untuk memastikan fungsi legislasi, pengawasan, dan representasi berjalan efektif,” jelasnya.
Menurut Hardjuno, kebijakan ini juga mencerminkan pengelolaan dana publik yang tidak transparan dan bertanggung jawab. Ia meminta agar kebijakan tersebut segera dihentikan demi menjaga kepercayaan publik terhadap lembaga negara. “Kami minta stop menghambur-hamburkan dana APBN untuk kegiatan reses ini,” ujarnya
Ia berharap kritik yang disampaikan menjadi perhatian serius bagi pimpinan DPD RI agar lebih bijak dalam mengambil kebijakan, terutama yang menyangkut anggaran negara. “Kami harapkan, semua pihak yang terlibat bersikap terbuka terhadap kritik dan segera mengambil langkah korektif untuk memperbaiki kebijakan yang telah diambil,” pungkasnya. [asg/suf]
