Bisnis.com, JAKARTA— Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), Muhammad Arif, menilai lambatnya adopsi jaringan 5G di Indonesia disebabkan oleh kendala infrastruktur dan kebutuhan investasi yang besar.
Sekadar informasi, GSMA The Mobile Economy Asia Pacific 2024 memperkirakan estimasi investasi yang dibutuhkan untuk membangun jaringan 5G di Indonesia hingga tahun 2030 mencapai sekitar US$18 miliar.
Sementara itu, riset Institut Teknologi Bandung (ITB) memproyeksikan kebutuhan investasi bisnis jaringan 5G di Indonesia sepanjang 2021–2030 berkisar antara Rp473 triliun hingga Rp591 triliun, tergantung pada tingkat penetrasi dan agresivitas adopsi. Investasi ini mencakup biaya lisensi frekuensi, pembangunan base transceiver station (BTS), backhaul fiber optik, dan perangkat pendukung lain.
Tingginya investasi yang digelontorkan swasta, tanpa dukungan insentif pemerintah, membuat biaya penggelaran jaringan 5G makin mahal. Di tengah investasi jumbo, penetrasi 5G di Indonesia masih di bawah 10%.
“Pertama kendala infrastruktur, Indonesia kan tetap aja belum semuanya merata terus terang. Terutama di wilayah-wilayah timur atau yang di pedalaman,” kata Arif ditemui disela acara Indonesia Technology & Innovation (INTI) 2025 yang digelar di Jakarta pada Selasa (28/10/2025).
Arif menambahkan, tantangan lain yang dihadapi para pelaku industri adalah besarnya kebutuhan investasi untuk membangun jaringan 5G.
Dia menjelaskan kebutuhan investasi yang semakin besar serta adanya adaptasi teknologi menjadi faktor penting yang perlu diperhatikan. Karena itu, menurutnya, wajar jika operator seluler juga berencana mengajukan insentif berupa pengurangan Biaya Hak Penggunaan (BHP) frekuensi.
Menurut dia, pemberian insentif diharapkan dapat mendorong pertumbuhan teknologi 5G di Indonesia.
“Karena diharapkan itu ke depan insentif itu dapat mendorong pertumbuhan dari teknologi 5G yang bakal tumbuh ke depannya di Indonesia,” tambahnya.
Arif menambahkan target jangkauan 5G sebesar 32% yang ditetapkan pemerintah pada 2030 masih memungkinkan untuk dicapai. Namun, menurutnya, upaya tersebut tidak bisa dilakukan hanya oleh pihak operator, melainkan memerlukan dukungan dari pemerintah, baik berupa insentif maupun kemudahan dalam regulasi.
Dia menekankan pentingnya kolaborasi antara operator dan pemerintah untuk mewujudkan hal tersebut.
Selain itu, Arif berharap pembukaan frekuensi baru 700 MHz dan 2,6 GHz yang direncanakan pada akhir tahun dapat membantu memperluas jangkauan serta meningkatkan kualitas jaringan.
“Dengan adanya kedua frekuensi akan dibuka ini diharapkan juga tadi meningkatkan penetrasi 5G ke depannya,” ujarnya.
Hingga 2024, luas permukiman yang tercakup sinyal 5G baru mencapai 4,44%, menurut data Direktorat Pengendalian Komunikasi Digital (Dit. Pengendalian Komdigi, 2025).
Sampai Desember 2024, terdapat 12 dari 13 lokasi yang menjadi target dalam Rencana Strategis (Renstra) Kemenkomdigi 2020–2024 telah terlayani jaringan 5G.
Lokasi tersebut meliputi lima ibu kota provinsi di Pulau Jawa (Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, dan Serang), Ibu Kota Nusantara (IKN), Kawasan Industri Jababeka, serta enam destinasi super prioritas (DPSP) yakni Borobudur, Danau Toba, Mandalika, dan Labuan Bajo.
Adapun wilayah yang masih terkendala dalam pengembangan jaringan 5G adalah DPSP Likupang, yang menghadapi hambatan akibat pengelolaan kawasan yang belum optimal.
Sebelumnya, Wakil Menteri Komunikasi dan Digital (Wamenkomdigi) Nezar Patria menyampaikan pemerintah menargetkan jangkauan koneksi 5G di Indonesia mencapai 32% pada 2030.
“Pemerintahan mencanangkan 32% setidaknya jaringan 5G di itu bisa tersambung hingga tahun 2030,” kata Nezar, Senin (28/10/2025).
Dia menjelaskan, saat ini ketersediaan koneksi internet 5G di Indonesia masih sangat rendah. Per Oktober 2025, jumlahnya baru mencapai 10% dari total populasi, atau tertinggal jauh dari negara tetangga seperti Malaysia yang telah mencapai 80%. Komdigi mendorong kerja sama seluruh pemangku kepentingan dalam menghadirkan teknologi internet yang lebih baik ke depan.
