Jember (beritajatim.com) – Sejumlah pendukung Bupati Muhammad Fawait dan aktivis lembaga swadaya masyarakat menemui Ahmad Halim, Ketua DPRD Kabupaten Jember, Jawa Timur, Rabu (24/9/2025), untuk mencurahkan isi hati alias curhat soal Wakil Bupati Djoko Susanto.
Mereka mempersoalkan tindakan Djoko yang menyurati Komisi Pemberantasan Korupsi sehingga membuat Kabupaten Jember menjadi pemberitaan nasional. Kustiono Musri, salah satu pendukung Fawait, menyayangkan kegaduhan yang dibuat oleh Djoko.
Menurut Kustiono, selama masa Reformasi, hubungan antara bupati dan wakil bupati tidak selamanya harmonis. “Apa yang terjadi antara (Wakil Bupati) Pak Bagong (Sutrisnadi) dengan (Bupati) Pak Samsul (Hadi Siswoyo) waktu itu tidak sampai membuat gaduh,” katanya. Bupati Samsul dan Wabup Bagong memimpin Jember pada periode 2000-2005.
Hal serupa, kata Kustiono, juga ditunjukkan Bupati MZA Djalal dan Wakil Bupati Kusen Andalas yang menjabat 2005-2015. “Mereka tidak mesra-mesra amat sebetulnya. Bahwa ada persoalan-persoalan,tetapi beliau-beliau mampu memberikan rasa tenteram pada masyarakat Jember sehingga tidak ada kegaduhan,” katanya.
Saat Bupati Faida berseberangan dengan Wabup Abdul Muqit Arief, Kustiono menyebut keduanya tidak memperkeruh suasana. “Tidak membongkar aib hubungan keduanya itu ke ruang publik,” katanya.
Kustiono mengatakan, seharusnya Wabup Djoko tidak mengambil cara aktivis. “Yang penting gaduh dulu agar menjadi perhatian. Kalau sebagai aktivis, itu mungkin satu-satunya cara yang bisa kami ambil. Tapi dengan status wakil bupati enggak bisa begitu,” katamya.
Ribut Supriadi, pendukung Bupati Fawait lainnya, merasa malu karena Jember menjadi sorotan di media sosial. “Seharusnya kedua belah pihak meredam diri saat ini, menunjukkan prestasi yang telah dicapai selama ini ataupun menunjukkan capaian-capaian yang belum terlaksana. Bukan menunjukkan kekisruhan,” katanya.
Tak cukup curhat, Ribut berpantun soal konflik tersebut. “Nonton bioskop di akhir pekan, iklannya kok pemerintahan. Harusnya capaian yang dibuktikan, bukan kisruh yang dipertontonkan,” katanya.
Sementara itu, politisi Partai Gerindra yang juga mantan anggota DPRD Jember, Sumpono, prihatin dengan kondisi saat ini. “Disharmoni antara para pimpinan membuat kami menangis,” katanya.
Sementara itu aktivis LSM Formasi Miftahul Rahman menilai, pernyataan Wabup Djoko menurunkan reputasi pemerintah Jember.
“Mendowngrade pemerintahan bahwa seolah-olah Jember ini pada posisi yang tidak on the track menjalankan pemerintahan. Kalau itu dibaca oleh banyak kepentingan, saya kira akan menjadi semakin buruk: bahwa pemerintahan Jember ini seolah-olah menjadi terbiarkan,” kata Miftahul.
Miftahul ingin DPRD Jember meminta penjelasan lebih lanjut kepada Djoko soal butir-butir laporan ke KPK dan Mendagri. Pertama, soal inkonsistensi kebijakan yang ditandai dengan dikeluarkannya Keputusan Bupati Nomor 100.3.3.2/126/1.12/2025 tentang Tim Pengarah Percepatan Pembangunan Daerah (TP3D).
Kedua, soal tidak berjalannya meritokrasi kepegawaian aparatur sipil negara, yang berpotensi pada rendahnya profesionalitas aparatur dan kerawanan tindak pidana korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Laporan berikutnya adalah mengenai pengelolaan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) Kabupaten Jember, yang dipandang Djoko, tidak menggambarkan prinsip transparansi, akuntabilitas, efektivitas, dan efisiensi.
Keempat, soal lemahnya sistem tata kelola aset milik daerah. Djoko mencontohkan penggunaan kendaraan bermotor oleh orang yang tidak berhak.
Kelima, soal terhambatnya koordinasi antara wakil bupati dengan organisasi perangkat daerah, yang ditandai dengan adanya ketidakpatuhan dan pembangkangan ASN kepada wakil bupati.
Terakhir, soal tidak direalisasikannya hak keuangan dan protokoler Djoko sebagai wakil bupati Jember.
Setelah mengkritik habis Wabup Djoko, Kustiono memuji sikap Bupati Fawait dalam menyikapi konflik tersebut. “Untungnya kita itu punya bupati yang meskipun muda tapi masih mampu memenej emosinya,” katanya.
“Tapi balik lagi kami ke sini hari ini tidak dalam rangka membela Bupati atau membela wakil Bupati. Kami ingin agar persoalan yang memalukan dan merugikan masyarakat Jember secara umum ini bisa segera disikapi secara konstitusional, secara elegan oleh wakil rakyat di DPRD,” kata Kustiono.
Minta DPRD Jember Memediasi
Ribut Supriadi mendesak DPRD Jember memediasi konflik antara Bupati Fawait dan Wabup Djoko. “Kita harapkan DPRD bisa menjadi penengah di antara keduanya dan bisa memanggil keduanya untuk memberikan penjelasan,” katanya.
“Kami mohon kepada pimpinan DPRD untuk segera mengambil sikap. Yang kami pedulikan adalah sustainable development. Pembangunan Jember yang berkelanjutan yang pada akhirnya bertumpu pada satu gol, satu tujuan yaitu Jember lebih baik. Jember makmur. Jember baru. Jember maju,” kata Sumpono.
Menurut Kustiono, publik Jember membutuhkan upaya DPRD Jember untuk menyelesaikan persoalan. “Statement dari DPRD secara institusi, itu yang dibutuhkan oleh publik Jember, bahwa persoalan ini sudah menjadi atensi,” katanya.
Kustiono berharap DPRD Jember menggunakan hak parlemen. “Wakil rakyat itu memungkinkan dan punya hak konstitusi, hak bertanya. Agar publik mengetahui secara utuh, wakil rakyat mengundang mereka berdua, ditakoni (ditanyai). Istilahnya di diundang-undang itu kan hak interpolasi, medeni (menakutkan),” kata Kustiono.
Namun Kustiono menyarankan agar tidak menggunakan istilah hak interpelasi. “Memungkinkan untuk memanggil atau mengundang ngopi bareng seperti itu. Saya pikir publik akan menangkap itu sebagai upaya yang elegan yang ‘oh ya wis mari’ (oh sudah selesai, red),” katanya.
Sikap Ketua DPRD Jember
Ketua DPRD Jember Ahmad Halim berterima kasih kepada Kustiono dan kawan-kawan yang telah menyampaikan aspirasi kepada parlemen. Namun dia mengingatkan posisi DPRD Jember dengan bupati dan wakil bupati yang sejajar.
Mediasi, menurut Halim, justru bisa dilakukan oleh level pemerintah yang lebih tinggi. “Misalkan dimediasi oleh gubernur atau Mendagri, karena Mendagri adalah penanggung jawab pemerintahan yang berlangsung,” katanya.
DPRD Jember hanya bisa melayangkan surat kepada Menteri Dalam Negeri untuk memfasilitasi pertemuan DPRD dengan Bupati dan Wakil Bupati.
“Walaupun tergantung kepada niat nanti. Kalau niatnya enggak pengin damai susah juga, kan ya? Kalau niatnya enggak ada yang pengin ketemu antara hati sama hati. ya, agak susah juga,” kata Halim.
Sementara itu sebagai Ketua Dewan Pimpinan Cabang Partai Gerindra Jember yang mengusung pasangan Fawait-Djoko saat pilkada, Ahmad Halim akan melaporkan persoalan ini kepada induk partai.
Halim menyarankan kepada para aktivis lembaga swadaya masyarakat untuk membuat petisi kepada masyarakat umum untuk mendapatkan legitimasi. “Walaupun hanya bersifat imbauan. Walaupun saya meyakini tetap kembali kepada individu masing-masing. antara bupati dan wakil bupati,” katanya.
Halim mengaku sudah ditelepon oleh dewan pimpinan sejumlah partai pengusung soal surat Wabup Djoko ke KPK dan Mendagri. Dia tak ingin situasi berlarut-larut.
“Ibaratnya Jember ini sudah punya karpet merah dalam perhatian dari pemerintah pusat untuk kemajuan masyarakat maupun ekonominya. Kesempatannya sekarang. Untuk itu kita saling menahan diri, menahan diri, menahan emosi sambil berikhtiar, berdoa mungkin malam Maulid Nabi bisa menggugah hati para pimpinan-pimpinan kita,” kata Halim.
Tanggapan Wabup Djoko Susanto
Wabup Djoko Susanto mengapresiasi pertemuan antara sejumlah pendukung Bupati Fawait dan aktivis LSM dengan Ketua DPRD Jember Ahmad Halim. “Itu bentuk kepedulian kepada daerah,” katanya kepada Beritajatim.com.
Namun Djoko mempertanyakan tudingan kegaduhan yang diarahkan kepadanya. “Itu terkait dengan mindset yang harus kita betulkan,” katanya.
“Misalkan ada maling. Lalu yang jaga di pos kamling itu teriak-teriak” ‘maling, maling, maling’. Yang dinilai bikin gaduh itu yang mana? Yang secara eksplisit berteriak tadi, atau justru malingnya yang senyap-senyap saja?” kata Djoko tersenyum.
Djoko kembali menegaskan, surat yang dilayangkannya ke KPK, Mendagri, dan Gubernur berisi permohonan pembinaan terhadap Pemkab Jember. “Ini bentuk tanggung jawab saya sebagai wakil bupati,” katanya.
“Waktu kami, bupati, saya dan beberapa kepala dinas diundang, KPK mengatakan bahwa tugas wakil bupati lebih banyak di bidang pengawasan. Lah kalau saya melakukan pengawasan, apa yang salah?” kata Djoko.
Djoko juga tidak pernah merasa mengungkapkan isi surat itu ke publik sebelum media massa memberitakannya. “Justru kemarin saya ngomong itu karena kalian tanya. Dimintai konfirmasi. Artinya sumber terbukanya surat itu bukan saya. Tapi KPK pun ya sah-sah saja mengungkap fakta,” katanya.
“Sesuatu yang faktual, apa yang salah? Justru yang diam-diam itu yang menurut saya cara berpikirnya salah,” kata Djoko.
Djoko kemudian mempertanyakan wacana mediasi antara dirinya dengan Bupati Muhammad Fawait oleh DPRD Jember. “Kalau mau dimediasi, yang dimediasi apanya? Saya bekerja sebagaimana amanah konstitusi. Saya bekerja karena saya disumpah. Kalau saya menjalankan amanah undang-undang, apa yang salah?” katanya. [wir]
