Jember (beritajatim.com) – Pemerintah Kabupaten Jember, Jawa Timur, dituding mencaplok lahan warga untuk destinasi wisata pemandian di Desa Patemon, Kecamatan Tanggul sejak 1982.
Renal Shendra Hermawan, pendamping keluarga ahli waris mengatakan, penguasaan lahan oleh Pemkab Jember itu tanpa dasar hukum jelas. “Tidak pernah ada peralihan hak sampai dengan sekarang,” katanya, Senin (19/5/2025).
Pemkab Jember menguasai lahan pemandian sekitar 2,7 hektare. Warga mengklaim lahan pintu masuk seluas 1.740 meter persegi adalah milik Pak Suha, Sementara di bagian dalam pemandian, ada persil atas nama Mbah Kacung seluas 1,2 hektare. Ada 33 orang ahli waris yang saat ini mengklaim lahan tersebut.
Tidak jelas benar bagaimana tiba-tiba lahan tersebut dikuasai Pemkab Jember. Tidak ada bukti transaksi jual-beli lahan sejauh ini. Sementara itu, ahli waris mengantongi bukti petok, bukti pembayaran pajak, dan gambar bidang obyek tanah dari Badan Pertanahan Nasional yang menunjukkan bahwa tanah itu belum bersertifikat.
Selama puluhan tahun, ahli waris tidak pernah menerima kompensasi maupun bagi hasil pendapatan dari destinasi wisata tersebut. “Padahal dana yang dihasilkan dari pemandian tersebut selama puluhan tahun masuk ke dalam kas negara,” kata Renal.
Mengantongi data kepemilikan lahan, keluarga ahli waris ingin hak kepemilikan atas tanah dikembalikan kepada mereka. “Kami dari pihak keluarga membuka diri untuk permasalahan ini bisa diselesaikan secara kekeluargaan,” kata Renal.
Mereka sudah berjuang melakukan pendekatan kepada Pemkab Jember selama bertahun-tahun. Hasilnya nihil. “Kami dipingpong,” kata Renal.
Tak heran jika pihak keluarga ahli waris siap bertarung di pengadilan jika tidak ada kata sepakat soal lahan tersebut. “Kami ada tim kuasa hukum,” kata Renal.
Komisi B DPRD Jember sempat menjadi mediator pada 2022. “Tapi tidak menemukan titik temu. Disampaikan pada saat itu oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, nanti akan ada pengukuran tanah melibatkan BPN. Tapi bagaimana kita berbicara pengukuran, kecuali ini mau dikonversi dari petok ke sertifikat,” kata Renal.
Pemandian mata air Patemon sudah menjadi bagian dari masa kecil Adi Bambang Sugianto, salah satu ahli waris. “Ada cerita dari kakek, dari nenek, bahwa bahwa pemandian itu masih milik kakek dan nenek,” kata pensiunan guru berusia 69 tahun ini.
Belakangan, pada 1990-an, Bambang memperoleh berkas dokumen kepemilikan lahan pemandian atas nama Pak Suha dari sang bibi.
Bambang tidak menutup mata atas semua usaha Pemkab Jember di atas lahan pemandian tersebut. “Tapi kalau memang Pemkab Jember memahami, kembalikan hak atas tanah itu kepada ahli waris,” katanya.
“Kalau memang itu sudah kembali ke ahli waris, langkah berikutnya kan enak. Dibicarakan lagi, apakah Pemkab Jember ini apa mau meneruskan pemandian ini? Kalau mau meneruskan, ini akan menjadi asetnya. Kan berarti membeli,” kata Bambang.
Menghadapi sengketa tersebut, Dicky Giantara, staf fungsional Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Jember, mengatakan, pihaknya harus mengumpulkan bukti bahwa tanah tersebut memang dimiliki Pemkab Jember. “Kalau secara fisik memang dikuasai oleh Pemkab,” katanya.
Obyek pemandian Patemon tercatat dalam KIB (Kartu Inventaris Barang) A Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jember.
Namun Dicky mengakui jika Pemkab Jember belum memiliki sertifikat tanah lahan tersebut. “Kami sudah melakukan pengajuan atas objek tersebut, yang nantinya akan di-SHP-kan (SHP adalah Sertifikat Hak Pakai) atas nama Pemkab Jember pada 2021-2022,” katanya.
Upaya Pemkab Jember tersebut terganjal keterangan dari pemerintah desa. Pemerintah Desa Patemon tidak berani menerbitkan surat keterangan, karena tanah pemandian tersebut berstatus tanah yasan.
“Ada penolakan dari desa, kami tidak berani maju, karena ujung-ujungnya nanti kan pasti ada gugatan,” kata Dicky.
BPKAD Jember berusaha mempertemukan ahli waris dengan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jember. “Prosedurnya kan memang kita harus melakukan rapat koordinasi. Mungkin minimal melalui sekretaris daerah atas perintah sekretaris daerah. Sampai saat ini kami tunggu itu. Jadi pihak ahli waris juga nunggu bagaimana kelanjutannya,” kata Dicky. [wir]
