Pemilu Serentak Dinilai Dongkrak Politik Uang, Harga Pemilih Jadi Makin Mahal
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia
Burhanuddin Muhtadi
mengungkapkan bahwa
pemilu serentak
telah menyebabkan peningkatan signifikan dalam praktik
politik uang
.
Efek uang terhadap pilihan pemilih, terutama dalam pemilu legislatif (pileg), juga semakin kuat.
Hal ini membuat ”
harga pemilih
” semakin mahal.
Pernyataan tersebut disampaikan Burhanuddin dalam paparan penelitiannya pada Indonesia Electoral Reform Outlook Forum 2024 yang diselenggarakan oleh Perludem pada Rabu (18/12/2024).
“Mereka yang menoleransi politik uang semakin meningkat, terutama dari 2019 hingga sekarang, sejak pemilu serentak dilakukan. Sementara itu, mereka yang menganggap politik uang tidak dapat diterima semakin berkurang,” ungkapnya.
“Sekarang sudah lebih banyak yang mengatakan politik uang itu wajar, dengan angka 54,5 persen dibandingkan 44,5 persen,” katanya.
Tren ini menunjukkan peningkatan toleransi terhadap politik uang sejak pemilu serentak diterapkan pada 2019.
“Akseptabilitas politik uang sebelum 2019 pemilu serentak dan setelah pemilu serentak naiknya tajam sekali. Jadi ada korelasi pemilu serentak kenaikan politik uang,” katanya.
“Dan korelasi itu sudah dites pakai multivariat, kita kontrol dengan beberapa variabel demografi yang penting, semuanya signifikan bahwa politik uang, setelah reformasi–pemilu serentak baik pemilu level provinsi, pilkada kabupaten/kota, maupun pileg dapil nasional, semuanya naik signifikan,” sambung dia.
Dalam analisisnya, Burhanuddin mencatat bahwa semakin sedikit pemilih yang menganggap boleh menerima uang dari kandidat tertentu sambil tetap memilih kandidat yang diinginkan.
“Artinya, uang semakin penting. Setelah diregresi, hasilnya tetap signifikan meskipun dikontrol dengan variabel lain. Ini mungkin dipengaruhi oleh faktor inflasi,” ujarnya.
Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah ini juga menyoroti bahwa sebelum pemilu serentak 2019, uang sekitar Rp 91.000-100.000 dapat mempengaruhi pilihan 60 persen pemilih.
Namun, kini angkanya susut ke 30 persen. Artinya, dengan nominal yang sama, dulu kandidat dapat mempengaruhi 60 persen pemilih tetapi sekarang tinggal 30 persen.
“Poinnya, harga pemilih semakin larang (mahal),” tegasnya.
Burhanuddin mengemukakan tiga hipotesis yang menjelaskan fenomena ini.
Pertama, pemilu serentak meningkatkan potensi terjadinya
vote buying
karena jumlah kandidat yang bertarung semakin banyak.
Pada Pileg Serentak 2024, terdapat 24.642 kursi yang diperebutkan di semua level, dengan lebih dari 10.000 calon anggota legislatif (caleg) di tingkat DPR dan DPD RI.
Di tingkat provinsi, belasan hingga puluhan ribu caleg memperebutkan 2.372 kursi.
Kemudian, di tingkat kota/kabupaten, jumlah caleg yang berkompetisi satu sama lain mencapai ratusan ribu orang
Kedua, pemilu serentak menyebabkan peningkatan ketidakpastian elektoral, yang mirip dengan dilema tahanan (prisoners dillema).
“Semua calon akan diuntungkan jika sepakat untuk tidak bagi-bagi uang. Namun, jika satu calon mengingkari kesepakatan dan membagi uang, maka calon yang tidak bagi uang akan dirugikan. Jadi mereka sepakat untuk menabrak dan mengingkari kesepakatan,” jelas Burhanuddin.
Ketiga, ia menyoroti minimnya pengawasan dan penegakan hukum terkait politik uang.
“Saya mendapatkan informasi bahwa tindak pidana yang paling tidak ditangani serius oleh polisi adalah tindak pidana pemilu. Mungkin karena berkaitan dengan calon pejabat, jadi mereka takut, kali ya” ujarnya.
“Itu juga menjelaskan, karena pemilu serentak fokus kita kebanyakan ke pilpres, pilegnya nggak dimonitor. Itu membuat pemilu serentak kita seperti di pertarungan bebas,” sebut Burhanuddin.
Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.