Merangkum Semua Peristiwa
Indeks
Voi.id  

Patrick Kluivert dan Mimpi Lolos ke Piala Dunia

Patrick Kluivert dan Mimpi Lolos ke Piala Dunia

Shin Tae-yong dipecat dari kursi pelatih Timnas Indonesia digantikan Patrick Kluivert. Ini membuka babak baru dalam drama panjang sepak bola nasional. Keputusan yang disebut sebagai langkah strategis ini kembali mengungkap pola lama: ambisi besar yang tidak didukung eksekusi matang. Pergantian pelatih di tengah jalan bukan hal baru, tetapi kali ini, harapan suporter bertumpu pada satu pertanyaan: apakah ini benar-benar perubahan atau sekadar nama baru?

Shin Tae-yong bukan sekadar pelatih, ia membawa perubahan signifikan. Di bawah kepemimpinannya, Timnas Indonesia bermain lebih percaya diri di panggung internasional, dan menunjukkan potensi besar. Namun, tuntutan untuk lolos ke Piala Dunia 2026 menjadi beban yang terlalu berat. Ketika target ini tampak sulit dicapai, ia harus meninggalkan posisinya.

Ketua Umum PSSI Erick Thohir menyebut pemecatan ini sebagai langkah strategis. Namun, publik bertanya-tanya: apa strategi sesungguhnya? Naturalisasi pemain sering disebut menjadi solusi instan, tetapi tanpa perencanaan jangka panjang, langkah ini sekadar tambal sulam yang tak menjamin keberhasilan.

Masuknya Patrick Kluivert sebagai pengganti Shin Tae-yong sempat memicu reaksi keras. Sebagai mantan striker kelas dunia, ia memiliki reputasi gemilang di lapangan. Namun, catatan kepelatihannya jauh dari mengesankan. Bahkan, rumor duet dengan Louis van Gaal, meski terdengar menjanjikan, tidak menjamin hasil instan.

“Nama besar tidak cukup,” tegas Unggul Indra, presiden kelompok suporter La Grande kepada media. “Kami butuh perubahan nyata, bukan sekadar simbol.” Tagar #SaveSTY pun sempat menggema di media sosial, mencerminkan skeptisisme publik.

Suporter kita mudah mendewakan figur, seperti Shin Tae-yong, padahal ia baru sebatas pelatih kelas Asia.

Viral insiden akun kereta cepat Whoosh yang terang-terangan mengkritik Kluivert semakin menegaskan sentimen negatif. Meskipun permintaan maaf telah disampaikan, insiden ini menunjukkan betapa emosionalnya penggemar sepak bola Indonesia.

Target lolos ke Piala Dunia seharusnya menjadi tolok ukur transformasi sepak bola nasional, bukan sekadar ambisi kosong. Secara teknis, peluang itu ada, terutama jika Indonesia mampu mengalahkan Australia, Bahrain, dan China. Namun, tanpa pembenahan mendasar dalam sistem, harapan ini hanya akan menjadi ilusi.

Sejarah sepak bola Indonesia mencatat pola yang berulang: euforia harapan besar yang diikuti kegagalan.

Dukungan luar biasa dari suporter, yang diakui dunia internasional, menjadi modal penting. Kevin Diks, pemain naturalisasi, bahkan menyebut suporter Indonesia sebagai salah satu yang terbaik di dunia. Namun, dukungan itu tidak cukup jika sistem tetap rapuh.

Masalah Indonesia bukan hanya pelatih, melainkan sistem yang belum matang. Infrastruktur yang terbatas, tata kelola yang lemah, serta tekanan politik dan bisnis menjadi hambatan utama. Tanpa perbaikan signifikan, siapa pun pelatihnya akan menghadapi tantangan yang sama. Ambisi besar tanpa dasar yang kokoh hanya akan menghasilkan kekecewaan.

Patrick Kluivert, setelah resmi memimpin, akan memikul tekanan berat. Ia harus memenuhi ekspektasi tinggi di tengah sistem yang belum siap mendukung. Jika gagal, ia hanya akan menjadi bagian dari daftar panjang pelatih yang dikorbankan ekspektasi berlebihan.

Pergantian pelatih ini kembali mencerminkan pola lama: mengganti wajah tanpa mengubah fondasi. Nama besar seperti Patrick Kluivert mungkin memberi daya tarik sementara, tetapi tanpa strategi yang matang, hasilnya akan sama. Suporter tidak ingin drama panjang tanpa solusi nyata. Mereka menginginkan sistem yang kuat, strategi jangka panjang, dan pelatih yang diberi waktu untuk membangun. Bahwa Indonesia atau PSSI terlihat belum serius soal pembinaan. Tidak ada kompetisi usia muda. Harusnya paralel, ada kompetisi U-15 sampai U-21.

Satu hal lagi yang menjadi sorotan adalah betapa mudahnya publik terbuai mimpi besar yang dijual oleh pemangku kepentingan. Pertanyaan pentingnya: apakah sepak bola Indonesia benar-benar siap untuk maju, atau hanya kembali menjual mimpi besar kepada publik?