Jakarta –
Majelis Guru Besar Kedokteran Indonesia (MGBKI) ikut menyesalkan dugaan kasus kriminalisasi dr Ratna Setia Asih, SpA dari hasil putusan Majelis Disiplin Profesi (MDP). MDP dinilai tidak mengutamakan etik profesi dalam kasus terkait sehingga dr Ratna ditetapkan menjadi tersangka kelalaian prosedur medis dari tindak lanjut tim pemeriksaan MDP.
Kasus tersebut berkaitan dengan meninggalnya pasien anak AR (10) di RSUD Depati Hamzah. MGBKI menyoroti dr Ratna bukan satu-satunya dokter yang menangani AR, tetapi mengapa kemudian bila benar bersalah, hanya dr Ratna yang satu-satunya diproses sebagai tersangka.
Kronologi Penetapan Tersangka
AR (10) sebelumnya mengeluh demam dan muntah. Ia berobat di tiga fasilitas kesehatan berbeda dengan ditangani 8 dokter. Pasien kemudian masuk IGD RSUD Depati Hamzah dengan keluhan muntah dan lemas.
Kala itu, dr Ratna memberikan instruksi medis awal melalui telepon karena pasien awalnya diduga mengalami dehidrasi atau gangguan gastrointestinal. dr Ratna tidak hadir di IGD, yang kemudian disebut menjadi dugaan malapraktik.
Kondisinya memburuk dengan cepat dan pemeriksaan EKG menunjukkan kelainan jantung. Walhasil, dr Ratna merujuk ke dokter spesialis jantung di RS yang sama. Sayangnya, pasien meninggal dunia pada hari yang sama di pukul 11:00 sampai 11:30 WIB.
Keluarga pasien, ayah korban kemudian membuat laporan polisi di Polda Kepulauan Bangka Belitung. Polda Bangka Belitung, mengajukan surat permintaan rekomendasi pada MDP untuk melanjutkan penyidikan pidana dr Ratna.
Pasca dibentuk tim pemeriksa MDP, didapatkan hasil dr Ratna sebagai tersangka tunggal di antara 8 dokter yang sempat menangani.
Tudingan Kesalahan MDP
MDP semestinya menilai prosedur medis berdasarkan keilmuan, bukan memosisikan dokter dalam kerangka hukum pidana tanpa memahami konteks klinis, demikian sorotan Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Prof Mohammad Akbar, PhD, SpN, Subsp NIIIOO(K).
“Pernah lihat pelanggaran militer diadili orang sipil? Tidak, kan?” responsnya dalam konferensi pers Selasa (2/11/2025).
Prof Akbar menyebut struktur MDP saat ini bermasalah karena didominasi latar belakang hukum dan minim praktisi medis.
“Pernahkah melihat ketika terjadi pelanggaran militer yang mengadili bukan ketentaraan? Bukan, kan?” ujarnya.
Ia menilai hal yang sama kini terjadi di MDP.
Menurutnya, keputusan-keputusan MDP menunjukkan tidak adanya pemahaman mendalam tentang proses dan risiko klinis yang nyata terjadi di ruang praktik dokter.
“Orang-orangnya bukan yang tepat. Ketika ada kasus, mereka gagal menghadirkan kearifan dan keadilan. Yang duduk di sana harus benar-benar mengerti profesi. Orang hukum belajarnya pidana, sedangkan kita mempertimbangkan banyak aspek klinis,” lanjutnya.
Ia menegaskan, MDP harus direformasi total agar kembali pada mandat awal, menjaga disiplin profesi, bukan menyudutkan tenaga kesehatan secara hukum.
Hal senada disampaikan Prof Yudhi Maulana Hidayat, Ketua Kolegium Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI), yang menyebut MDP saat ini sudah tidak bekerja sesuai marwahnya.
“Semestinya MDP mengurusi disiplin dan etika profesi. Tapi yang terjadi justru mengarahkan ke kriminalisasi dokter,” sesalnya.
Menurutnya, keputusan MDP yang berujung pada proses pidana adalah langkah yang berbahaya bagi praktik kedokteran. Dokter merasa tidak terlindungi ketika mengambil keputusan cepat dalam kondisi gawat darurat dan tentu dihantui rasa kekhawatiran mengalami nasib yang sama seperti dr Ratna.
Halaman 2 dari 3
(naf/up)
