Mau, tidak mau, birokrasi memang harus mengikuti arahan dari pusat. Yang penting tadi, mekanisme komunikasi dan koordinasinya jelas, sehingga tidak terjadi interpretasi yang berbeda antara pusat dan daerahPurwokerto (ANTARA) – Pakar kebijakan publik Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Prof. Slamet Rosyadi memperkirakan masalah koordinasi antarkementerian menjadi tantangan terbesar dalam Kabinet Merah Putih di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.
“Ya, semakin banyak kementerian, tantangan koordinasinya juga semakin sulit. Ke depannya, tantangan yang dihadapi oleh pemerintah pusat terutama presiden untuk mengoordinasi kementerian itu makin besar, ya makin sulit koordinasinya,” katanya di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Selasa.
Bahkan, kata dia, tantangan dalam koordinasi tersebut juga akan dirasakan oleh pemerintah daerah karena saking banyaknya kementerian.
Dengan demikian, ketika nomenklatur kementeriannya berubah, lanjut dia, perlu ada penyesuaian-penyesuaian nomenklatur organisasi perangkat daerah (OPD) untuk memudahkan koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
“Termasuk juga untuk alokasi sumber daya dari pusat ke daerah. Misalkan kalau ada resources (sumber daya, red.) yang akan dialokasikan ke daerah akan sulit kalau tidak ada nomenklatur yang diakomodasi di daerah,” kata guru besar bidang administrasi pembangunan tersebut.
Baca juga: Kemenkumham bentuk Tim Transisi untuk transformasi perubahan kabinet
Meskipun jumlah kementeriannya cukup banyak karena mencapai 48 kementerian, dia mengatakan pemerintah daerah tidak perlu membuat nomenklatur OPD sesuai dengan jumlah kementerian yang ada karena dapat dilakukan melalui pola rumpun (perumunan) seperti yang telah berjalan selama ini.
Dalam hal ini, kata dia, perumpunan dilakukan dengan menggabungkan dinas atau instansi yang fungsinya saling berkaitan ke dalam satu OPD.
“Itu tergantung kebijakan masing-masing daerah. Tapi biasanya daerah itu kecenderungannya menggabungkan karena kita tahu kapasitas anggaran di daerah juga sangat terbatas, sehingga tidak mungkin memecah sesuai apa yang terjadi di pusat,” katanya.
Akan tetapi, kata dia, yang paling penting untuk masalah pendidikan dasar merupakan urusan wajib pemerintah kabupaten/kota, pendidikan menengah merupakan urusan pemerintah provinsi, dan pendidikan tinggi merupakan urusan pemerintah pusat.
Menurut dia, jumlah kementerian yang cukup banyak itu tidak bertentangan dengan semangat otonomi daerah.
“Sekarang juga otonomi daerah hampir tidak ada lagi karena kayak peraturan daerah itu harus disetujui oleh Kementerian Dalam Negeri. Perda terkait dengan retribusi, pajak daerah, ‘kan harus mendapat persetujuan dari pusat,” katanya.
Baca juga: Prabowo samakan visi dan sampaikan program 100 hari di Akmil Magelang
Ia mengatakan jika tidak mendapatkan persetujuan dari pemerintah pusat, perda-perda tersebut tidak bisa diundangkan.
Selain itu, kata dia, anggaran dari pemerintah pusat untuk daerah juga sudah ditentukan untuk apa saja.
“Jadi, sekarang itu praktis otonomi daerah sifatnya hanya administratif saja, hanya penyelenggara saja, tidak bisa mengolah secara penuh,” katanya.
Oleh karena banyak terdapat nomenklatur kementerian yang baru, kata dia, pemerintah daerah tetap harus mengikutinya.
Ibarat belajar, lanjut dia, ketika belum tuntas belajar sesuatu ternyata ada pembelajaran yang lain tentunya harus diikuti.
“Mau, tidak mau, birokrasi memang harus mengikuti arahan dari pusat. Yang penting tadi, mekanisme komunikasi dan koordinasinya jelas, sehingga tidak terjadi interpretasi yang berbeda antara pusat dan daerah,” kata Prof. Slamet.
Pewarta: Sumarwoto
Editor: Edy M Yakub
Copyright © ANTARA 2024