Pak Jokowi! Ini Bukti Industri Hiburan Mati Karena Pajak 40-75%

7 February 2024, 20:40

Jakarta, CNBC Indonesia – Ketua Umum Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) Hariyadi Sukamdani memberi bukti, perusahaan jasa hiburan seperti diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa mati akibat ketentuan tarif pajak minimal 40%-75%.

Ketentuan tarif pajak itu ditetapkan dalam Pasal 58 ayat 2 Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD). GIPI pun telah mengajukan judicial review atau uji materiil ke Mahkamah Konstitusi terhadap pasal tersebut Rabu (7/2/2024).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

“Kerugian itu bukan dihitung rupiah lagi tapi tutup. Ini bubar sudah pasti, stop mereka, yang kami khawatirkan akan timbul praktik-praktik ilegal, menyuap oknum pemerintah, aparat, untuk mereka survive,” kata Hariyadi di Gedung MK, Jakarta, Rabu (7/2/2024).

Hariyadi pun memberi bukti bahwa ketentuan pajak dalam Pasal 58 ayat 2 UU HKPD mematikan jasa hiburan seperti diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa. Ia mendasarinya pada data 177 daerah dari total 436 daerah yang telah menetapkan tarif itu, sesuai catatan Kementerian Keuangan.

Tarif itu ditetapkan sebelumnya oleh 177 daerah menggunakan UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Dalam Pasal 45 ayat 2 UU PDRD pagelaran busana, kontes kecantikan, diskotik, karaoke, klab malam, permainan ketangkasan, panti pijat, dan mandi uap/spa ditetapkan pajaknya maksimal 75% meski tak ada batas minimum 40% seperti UU HKPD.

Daerah yang telah menerapkan tarif 40%-75% itu diantaranya adalah Kabupaten Siak, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Kabupaten Ogan Komering Ulu, Kabupaten Belitung Timur, Kabupaten Lebak, Kabupaten Grobokan, dan Kota Tual.

Menurut Hariyadi, dari 36 asosiasi yang dinaungi GIPI, tidak ada satupun jasa hiburan khusus seperti diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa yang hidup di daerah yang menerapkan tarif pajak 40%-75%. Maka, ketika ditetapkan secara umum dengan batasan minimum 40% dalam UU HKPD, dipastikannta tak akan ada lagi jenis jasa hiburan itu di tiap daerah.

“Saya ambil contoh di Belitung Timur, di sana diskotek 75%, tapi memang enggak ada barangnya, jadi memang kalau sudah begitu memang enggak ada usahanya yang mau bayar segitu,” tegas Hariyadi.

Oleh sebab itu, Hariyadi menekankan, jika jasa hiburan bertumbangan dengan penerapan tarif pajak 40%-75%, ujungnya yang terdampak adalah para tenaga kerja di dalamnya yang akan kehilangan pekerjaan, padahal jasa hiburan itu tak pernah mensyaratkan kualifikasi khusus dalam penyerapan tenaga kerja.

“Jasa hiburan salah dia apa, kalau salah cabut aja izinnya kan sudah pernah juga Alexis itu, tapi jangan instrumen pajak dimainkan karena sektor ini serapan tenaga kerjanya tinggi enggak butuh kualifikasi tinggi, betul-betul banyak serap orang,” tegas Hariyadi.

Oleh sebab itu, ia berharap supaya MK mengabulkan gugatan terhadap Pasal 58 ayat 2 yang diajukan GIPI. Menurutnya tarif pajak yang sesuai untuk jasa hiburan khusus itu maksimal 10% sebagaimana penerapan tarif pajak hiburan khusus di berbagai daerah selama ini menggunakan UU PDRD.

Ia pun mengatakan, GIPI akan membuat surat edaran supaya hiburan khusus yang terdampak tarif pajak Pasal 58 ayat 2 UU HKPD membayar pajak sesuai ketentuan lama di daerah selama ini, supaya tidak mati ketika ditagihkan tarif pajak itu sejak Januari 2024 ini.

“Karena belum ada keputusan, kita buat surat edaran, kita minta semua anggota kita bayar tarif lama dulu tapi kalau putusan MK ini kita harapkan bisa dikabulkan tarif baru maksimal 10% karena itu yang layak bisa diterima,” ungkap Hariyadi.

[Gambas:Video CNBC]

Artikel Selanjutnya

Wah! Sederet Daerah Ini Sudah Kenakan Pajak Hiburan 75%

(arm/mij)

Partai

Institusi

BUMN

NGO

Organisasi

Perusahaan

Negara

Topik

Kasus

Agama

Brand

Club Sports

Event

Grup Musik

Hewan

Tanaman

Produk

Statement

Fasum

Transportasi