Jakarta: Langkah DPR memasukkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengampunan Pajak atau Tax Amnesty ke dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2024 mendapat kritik tajam. Keputusan ini dinilai janggal lantaran RUU tersebut secara mendadak masuk dalam longlist usulan Badan Legislasi (Baleg) DPR.
Langkah ini menuai banyak pertanyaan karena berpotensi membebaskan pelanggar pajak dari tanggung jawab masa lalu menjadi prioritas. Sementara, RUU Perampasan Aset, yang memiliki dampak besar dalam pemberantasan korupsi, justru diabaikan.
“RUU Perampasan Aset adalah instrumen penting untuk mengembalikan kerugian negara akibat korupsi dan tindak kejahatan ekonomi lainnya. Tanpa adanya regulasi ini, aset-aset yang seharusnya dapat dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat akan terus terhenti di tangan para pelaku kejahatan,” ungkap pengamat hukum dan pegiat antikorupsi Hardjuno Wiwoho, dikutip dari keterangan tertulis, Jumat, 22 November 2024.
Hardjuno mensinyalir lolosnya RUU Tax Amnesty ke dalam daftar Prolegnas prioritas adalah titipan pengusaha, terutama pengusaha hitam yang mengemplang pajak selama ini.
Selama ini, para pengemplang pajak terus menghindar dari kewajiban membayar pajak. Karena itu, mereka diduga melobi DPR akan membuat regulasi pengampunan pajak jilid III terhadap mereka.
“Saya ajak seluruh rakyat Indonesia untuk mengawal RUU ‘siluman’ ini. Ini bentuk ketidakadilan di negara ini. Orang kaya diusulkan beri Tax Amnesty, sementara rakyat jelata dicekik pajaknya,” ketus Hardjuno.
Komitmen pemberantasan korupsi jadi lemah
Keputusan untuk tidak memprioritaskan RUU Perampasan Aset menurut Hardjuno sangat melemahkan komitmen pemberantasan korupsi. Padahal, regulasi ini dapat mempercepat proses pengembalian aset negara yang dikorupsi.
“RUU ini penting untuk memastikan keadilan. Hasil korupsi harus dikembalikan ke rakyat, bukan justru dibiarkan menjadi aset pribadi yang dinikmati segelintir orang,” ujar Hardjuno.
Lebih lanjut, Hardjuno mempertanyakan alasan mendadak di balik prioritas RUU Pengampunan Pajak. Karena menurutnya, DPR seharusnya mendahulukan kepentingan yang lebih besar, yakni memberantas korupsi.
“Bukan meloloskan kebijakan yang berpotensi memberikan keuntungan bagi segelintir pelaku pelanggaran pajak,” kata Hardjuno.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
dan follow Channel WhatsApp Medcom.id
(HUS)