Bangkalan (beritajatim.com) – Aroma dugaan pelecehan seksual kembali mencoreng dunia pendidikan pesantren di Madura. Seorang oknum lora atau putra Kyai yang pernah mengajar di sebuah pondok pesantren di Kecamatan Galis, Bangkalan, dilaporkan ke Polda Jawa Timur atas dugaan mencabuli santrinya.
Kasus ini terungkap setelah keluarga korban, yang sebelumnya memilih diam, akhirnya melapor karena kondisi psikologis korban disebut belum pulih meski kejadian telah lama berlangsung.
Pendamping korban, Dr. Mutmainnah, mengungkapkan keluarga sebenarnya hanya berniat bersilaturahmi untuk mencari penjelasan.
Namun setelah bertemu langsung dengan korban dan melihat kondisinya, keluarga memutuskan membawa persoalan ini ke jalur penegakan hukum.
“Setelah memahami apa yang dialami korban, keluarga mantap melapor. Mereka juga sudah menunjuk kuasa hukum,” jelasnya, Rabu (03/12/2025).
Mutmainnah menegaskan bahwa trauma korban masih sangat terlihat dan belum tertangani secara maksimal. Ia menolak mengungkap detail peristiwa demi menjaga martabat dan kerahasiaan korban.
“Trauma itu masih jelas. Saya tidak bisa memaparkan bentuk kekerasannya secara rinci,” ujarnya.
Seiring mencuatnya kasus ini, Mutmainnah mengaku menerima banyak pesan dan informasi dari warga yang diduga juga mengetahui adanya korban lain. Namun ia menekankan bahwa identitas para pengirim informasi masih belum dapat diverifikasi.
“Kalau memang ada korban-korban lain, saya berharap mereka berani bersuara. Ini soal memutus rantai perilaku yang menyimpang dari ajaran agama dan norma sosial,” tegasnya.
Pondok Pesantren Nurul Karomah, Paterongan, Galis – tempat oknum lora tersebut sebelumnya berada – turut merespons dengan mengeluarkan pernyataan resmi.
Dalam klarifikasi tersebut, pihak pesantren menyampaikan keprihatinan sekaligus memastikan bahwa terduga pelaku sudah tidak lagi berada dalam lingkungan lembaga.
Beberapa poin penting dari pernyataan pesantren antara lain:
1. Menyampaikan penyesalan dan keprihatinan mendalam atas peristiwa yang beredar di publik.
2. Menegaskan bahwa oknum lora tersebut sudah tidak memiliki akses apa pun ke lingkungan pesantren.
3. Tidak ada upaya melindungi pelaku, dan pesantren mendukung penuh proses hukum yang sedang berjalan.
4. Pesantren siap kooperatif dan membuka informasi yang diperlukan aparat.
5. Fokus utama pesantren kini adalah perlindungan korban serta pembenahan sistem internal agar kasus serupa tidak terulang.
Dalam penutupnya, pesantren juga mengingatkan masyarakat agar tidak menyebarkan kabar yang belum terbukti.
“Biarkan aparat bekerja secara objektif dan profesional,” tulis pesantren dalam pernyataan resminya. [sar/ian]
