Blitar (beritajatim.com) – Konflik lahan di Branggah Banaran Kecamatan Doko Kabupaten Blitar membuat para petani di sana kehilangan mata pencaharian. Pandemi Covid-19 yang berlangsung sejak akhir tahun 2019 lalu menambah berat ekonomi warga yang ada di dusun Klakah dan Telogo Arum.
Akibatnya warga pun nekat untuk menanam singkong di tanah sengketa. Warga mengklaim bahwa tanah itu merupakan milik nenek moyangnya sementara perusahaan cengkeh mengklaim memiliki HGU atas lahan tersebut.
Sebenarnya warga menanam singkong di lahan tersebut lantaran kepepet oleh keadaan. Mereka terpaksa menanam singkong di lahan yang diklaim milik perusahan cengkeh demi bisa mempertahankan hidup.
“Kepepet, karena kondisi kami makin susah. Kami tanam ubi kayu ini hanya untuk makan. Pemuda sini banyak yang pulang kampung karena kena dampak COVID-19. Hanya menanam ubi ini yang bisa kami lakukan,” kata Aris Widodo, anak dari Jiat Riady yang dipidanakan dengan tuduhan penyerobotan lahan perkebunan, Rabu (18/10/23).
Namun upaya untuk mempertahankan hidup itu, ternyata berujung pada kasus pidana. Sebanyak 3 orang petani yang nekat melakukan penanaman pohon singkong dilaporkan oleh pihak perusahaan sebagai tindakan penyerobotan lahan HGU.
Ketiga petani yang dipidanakan itu adalah Jiyat Rayadi, Djemuri serta Prianto Sukiran. Ketiganya divonis bersalah oleh Polres Blitar atas penyerobotan lahan milik PT Perkebunan Tjengkeh Kebun Branggah Banaran.
Menurut penyidik kepolisian, 3 tersangka telah melanggar Pasal 6 Ayat (1) huruf a Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang nomor 51 tahun 1960 tentang larangan pemakaian tanah tanpa izin yang berhak atau pasal 168 ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
“Setelah terdakwa dan warga lainnya tidak mengindahkan peringatan dari petugas keamanan perusahaan perkebunan dan pihak kepolisian, PT Perkebunan Tjengkeh melaporkan kasus itu ke Polres Blitar,” kata Kanit Pidus Sat Reskrim Polres Blitar, Aipda Yuni.
Ketiga petani itu pun kenakan hukuman wajib lapor hingga persidangan di Pengadilan Negeri Blitar. Sidang ke 3 petani ini pun kemudian digelar oleh PN Blitar pada Jumaat (13/10/23) lalu.
Dalam sidang yang digelar mulai pukul 09.30 WIB ini ke 3 petani tersebut divonis bebas oleh hakim tunggal Muhammad Syafi’i. Hakim menilai pasal yang digunakan penyidik Polres Blitar untuk menjerat tiga warga Dusun Klakah, Desa Sidorejo, Kecamatan Doko, itu tidak tepat untuk diterapkan. Sehingga hakim memutuskan bahwa ke 3 petani tersebut harus dibebaskan.
Menurut Syafi’i, meski ketiganya terbukti melakukan aktivitas pemanfaatan lahan tanpa seizin penguasa tanah, namun esensi dari kasus ini lebih pada sengketa tanah. Sehingga kasus ini sepatutnya diselesaikan di ranah Yurisdiksi Peradilan Perdata.
“Perbuatan tersebut bukanlah merupakan suatu tindak pidana. Sehingga kami memutuskan melepaskan para terdakwa dari segala tuntutan hukum. Memulihkan hak para terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya. Dan menetapkan supaya biaya perkara sebesar Rp. 5.000,00 (lima ribu rupiah) dibebankan kepada Negara,” kata Muhammad Syafi’i selalu hakim tunggal saat membacakan putusannya.
Usai divonis bebas, ke 3 petani itu pun langsung lega. Mereka tetap ingin tanah warisan nenek moyangnya bisa kembali dan kegiatan pertanian di 2 dusun tersebut bisa berjalan normal.
“Kembalikan tanah itu pada kami. Usut tuntas kasus penembakan yang menewaskan Pak Sumarlin dan Pak Samidi. Sampai sekarang tidak tersentuh hukum itu. Kami butuh hidup tenang,” tandas Djemuri dengan gontai melangkah pulang. (owi/kun)
BACA JUGA: Imbas KA Argo Semeru Anjlok, 9 KA Terlambat Datang di Stasiun Blitar dan Malang