Negara Ini Sukses Atasi Polusi Udara, RI Wajib Tiru?

27 September 2023, 17:50

Jakarta, CNBC Indonesia – China menjadi salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi dan industri yang pesat, sekaligus menjadi penyumbang emisi terbesar di dunia. Kota-kota China selalu mendominasi peringkat global sebagai kualitas udara terburuk di dunia.
Namun, pada 2021, negara tirai bambu ini berhasil membalikkan keadaan. Beijing mencatat kualitas udara bulanan terbaik sejak 2013. Kemajuan tersebut diklaim mampu dicapai karena pemerintah dan masyarakat saling bekerja sama untuk berusaha keras melawan polusi.
Pada masa polusi tersebut, warga China memastikan keterlibatan mereka untuk mengurangi polusi udara dengan menggunakan media sosial Weibo. Di media sosial Weibo, masyarakat ikut serta memantau jumlah emisi secara realtime.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Kolaborasi masyarakat yang diajukan melalui Weibo menghasilkan peningkatan kualitas lingkungan, bahkan perusahaan-perusahaan pun ikut terlibat di dalamnya.
Pemerintah China pun mengambil langkah tegas, dengan memaksa PLTU batu bara memasang alat penangkap debu (teknologi super critical/USC). Teknologi ini memungkinkan penggunaan batu bara untuk sumber daya yang lebih efisien dibandingkan teknologi konvensional.
Perlu diingat, penggunaan teknologi USC bukan berarti menghilangkan total emisi dari pembangkit batu bara, melainkan hanya meminimalkan penggunaan sekaligus emisi yang keluar.
Upaya ini pertama kali dilakukan di Beijing, yang menindak emisi batu bara, dengan melanjutkan kebijakan peralihan dari pembangkit listrik tenaga batu bara ke gas.
Dengan bekerja sama dengan negara tetangga untuk menetapkan standar emisi untuk pembangkit listrik tenaga batu bara dan industri berat seperti baja dan semen. Industri pembakaran batu bara mendapat imbalan finansial karena mengurangi emisi. Banyak mesin terpasang yang disebut scrubber, yang menyaring partikel berbahaya sebelum dilepaskan ke atmosfer.
Pemilik rumah mendapat subsidi untuk mengganti boiler berbahan bakar batu bara, yang digunakan untuk memanaskan rumah di musim dingin, menjadi boiler berbahan bakar gas yang lebih bersih.
Tidak berhenti di situ, China juga mengkombinasikan kebijakan proteksi lingkungan, kebijakan ekonomi, hingga penegakan hukum dalam pengurangan polusi. Dalam kebijakan proteksi lingkungan, selain mengubah bahan bakar menjadi ramah lingkungan, penanaman pohon dan meluaskan taman-taman publik.
Dalam kebijakan ekonomi, pemerintah memberikan diskon harga 60% bagi mereka yang membeli mobil listrik yang ramah lingkungan. Perusahaan taksi juga didorong menghentikan operasional taksi lama dan menggantinya dengan taksi baru yang memakai bahan bakar gas dengan iming-iming insentif pajak. Sementara pemerintah menambah bus dan membatasi pembelian mobil baru hanya 20.000 per tahun.
Pemerintah China juga menggalakkan kembali penggunaan sepeda sebagai alat transportasi utama masyarakatnya. Upaya itu pun sejalan dengan perbaikan transportasi umum dengan memperbanyak bus dan trem yang menggunakan listrik.
Sebagai kota megapolitan, keberhasilan Beijing mereduksi polusi juga berkat kerja sama dengan kota-kota besar di sekitarnya.
Direktur Eksekutif Energy Watch, Daymas Arangga Radiandra, mengungkapkan kisah sukses China dapat diadopsi di Indonesia. Meski langkah untuk penyelesaian polusi harus dilakukan dalam jangka panjang, bukan hanya sesaat.
“Butuh perencanaan yang matang untuk mengatasi masalah ini. Apalagi untuk sampai ke akarnya bukan hal yang bisa diselesaikan dalam satu-dua hari. Kalau memang masalahnya adalah negara maju, pasti banyak yang lebih bermasalah oleh karena itu butuh data yang valid,” jelas Daymas kepada CNBC Indonesia beberapa waktu lalu.
Pemerintah punya banyak pekerjaan rumah untuk diselesaikan, dari mitigasi dan solusi. Dia juga menyebut, bukan cuma China, namun banyak negara lain yang bisa dicontoh.
“Solusi pengurangan emisi itu perlu perencanaan yang matang dan bersifat jangka panjang, hal ini perlu diupayakan melalui regulasi pemerintah yang tepat. Regulasi yang tidak tepat pada akhirnya malah akan memperburuk kualitas udara dan tidak akan menyelesaikan akar permasalahannya” tutur Daymas.
Hal pertama yang harus dilakukan adalah mencari sumber data yang benar, sehingga bisa mengambil langkah yang tepat. Daymas menyebut, setelah data, barulah pemerintah bisa memonitor dan mencari cara untuk mengurangi polusi udara secara efektif.
“Polusi itu berubah sangat cepat, sehingga pemerintah juga seharusnya punya mitigasi yang real time,” pungkasnya.
Sebelumnya Energy Watch merilis masalah terkait polusi udara merupakan perkara kompleks yang tidak bisa diselesaikan apabila dalam regulasi yang mengatur juga tidak mendukung upaya tersebut.
Salah satu contohnya di dalam Permen LHK No.11 Tahun 2021 tentang Baku Mutu Emisi Pembakaran Dalam terdapat kenaikan baku mutu kandungan nitrogen oksida (NOx) yang diperbolehkan mencapai 4,3 kali lipat lebih banyak dibandingkan beleid sebelumnya. Selain itu partikulat (PM) yang diperbolehkan mencapai 2 kali lipat lebih banyak.
Kenaikan baku mutu tersebut disebabkan oleh dinaikkannya parameter koreksi dengan oksigen (O2) dari 5% menjadi 15%. Hal ini juga bertentangan dengan komitmen pemerintah terkait target pengurangan emisi sesuai yang tertuang pada dokumen Enhanced NDC, sebesar 31,89% dengan kemampuan sendiri dan 43,2% dengan bantuan internasional hingga 2030 mendatang.
Menurut dia pemerintah perlu melihat semua aspek penyumbang polusi, selain transportasi dan PLTU, juga ada Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD)/Genset yang turut menyumbangkan emisi berupa NOx dan PM. Banyak PLTD/Genset di bawah 3.000KW yang tersebar di sekitar Jakarta yang dipakai oleh kantor, pusat perbelanjaan dan juga pabrik-pabrik industri.
Dengan perkiraan total kapasitas 100 MW saja apabila dikonversikan dengan perbandingan standar Euro 4 mobil ekuivalen yang menghasilkan 0.08gr/Km dan rata-rata menghasilkan 2,4gr/jam maka itu setara dengan emisi 1,2 juta unit mobil.
Di sisi lain, Ahli Kesehatan Masyarakat sekaligus Epidemiolog Griffith University Australia, Dicky Budiman mengatakan masyarakat kini semakin sadar dan memperhatikan lingkungan. Hal ini membuat mereka mulai peduli dan waspada terkait isu polusi, khususnya di Jabodetabek.
Dia mengharapkan kepedulian masyarakat bukan hanya sesaat, namun bisa menjadi motivasi dan mengakselerasi program-program yang ada untuk memperbaiki lingkungan.
“Saya kira kepedulian ini harus jadi upaya dan momentum untuk memperbaiki kualitas udara dan lingkungan secara keseluruhan. Apalagi secara umum, dunia termasuk Indonesia dalam 20-30 tahun mendatang trennya tanah dan udara akan makin memburuk,” jelas Dicky kepada CNBC Indonesia.
Menurutnya, kalau tidak dilakukan mitigasi dari sekarang, maka perburukan pada satu hal akan berpengaruh pada perburukan lain, termasuk juga perubahan iklim akan berkontribusi dalam situasi ini.
“Di Cina, komitmen bukan cuma dari masyarakat, namun komitmen politik yang kuat dari pemimpin, dari atas dan hingga di level bawah. Di sisi lain, ilmuwan akademisi, civil society, media turut terlibat, jadi tidak bisa hanya masyarakat saja, yang terutama sebagai lead tetap pemerintah itu sendiri,” pungkas Dicky.
Sementara itu, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan ada berbagai faktor penyebab polusi belakangan ini yang perlu ditelaah lebih lanjut. Penyelesaian masalah polusi di negara lain pun bisa dicontoh secara selektif, karena ada perbedaan sumber energi yang digunakan.
“Misalnya masalah (polusi) dari transportasi solusi utamanya bisa moving ke transportasi publik, kereta diperbanyak, bus diperbanyak, sehingga bisa sebanding dengan berapa ratus mobil pribadi,” kata dia kepada CNBC Indonesia.
Jika masalahnya ada di pembangkit listrik, harus melihat kesiapan menggantikan sumber energi sehingga bisa beralih dari PLTU. Komaidi menegaskan solusinya bisa dilakukan satu per satu secara bertahap. Langkah-langkah yang dilakukan di negara lain pun bisa dilakukan dengan mempertimbangkan latar belakang teknis penerapannya.
“Kalau industri misalnya, bisa ditelaah sumber listrik darimana, kalau mereka pakai mandiri, apakah pakai diesel atau PLTU, lihat aspek mikro. Solusi yang cocok (dari negara lain) bisa diadopsi, kalau tidak tentu ada formulasi sendiri,” ujar Komaidi. 

[Gambas:Video CNBC]

Artikel Selanjutnya

Video: Polusi Jakarta Sudah Tingkat Dewa, Masih Bisa Diatasi?

(bul/bul)