Muktamar Pemikiran JIMM

23 December 2023, 9:10

TAK terasa Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) telah eksis selama 20 tahun. Tasyakurannya pun diekspresikan dengan menyelenggarakan Muktamar Pemikiran Islam Kaum Muda.

Kegiatan itu dapat dikatakan sebagai ikhtiar menyelamatkan kaum muda baru Muhammadiyah dari kebekuan berpikir. Adalah suatu keterpanggilan intelektual dan moral untuk mewadahi sekaligus mengumpulkan potensi-potensi kaum muda dari berbagai daerah.

Muktamar yang dihelat di Yogyakarta pada 22-24 Desember 2023 mengusung tema Intelektual Muda Muhammadiyah Abad ke-21: Mendorong Pembaharuan Pemikiran, Pengetahuan dan Perkaderan Muhammadiyah. Tentu, banyak hal yang mesti dicarikan formulanya di tengah zaman yang bergerak begitu cepat.

Hal yang tak kalah pentingnya dalam rentang perjalanan dua dekade paguyuban intelektual ini, adalah menjemput kembali hal-hal positif yang patut dijadikan sebagai bahan renungan bersama.

Pertama, lahirnya generasi awal kaum muda Muhammadiyah progresif pasca-Reformasi dapat dilihat sebagai sebuah kesinambungan sejarah dari pemikiran para pendahulu yang berhaluan progresif. Trio A seperti Abdul Munir Mulkhan, Amin Abdullah, dan Ahmad Syafii Maarif menjadi aktor yang banyak mewarnai corak pembaharuan pemikiran di tubuh Muhammadiyah.

Dalam pengamatan Sukidi (2005), trio tersebut saling menopang satu sama lain sesuai dengan peranannya masing-masing. Abdul Munir Mulkhan berperan penting terutama dalam menekankan pendekatan ‘kembali pada Al-Quran dan sunnah’ ke arah dinamisasi. Dengan penekanan semacam ini, maka pembaharuan dapat dimaknai sebagai gerak ke arah kemajuan yang manifestasinya berupa sikap terbuka, rasional, dan saintifik.

Begitupun Amin Abdullah, yang melakukan suatu lompatan besar kala menahkodai Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam. Hal ini, misalnya, terbukti dengan diterbitkannya tafsir tematik Al-Qur’an tentang Hubungan Sosial Antarumat Beragama (2000) yang bersemangat progresif-liberatif.

Sementara Ahmad Syafii Maarif selaku Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, telah membukakan keran yang seluas-luasnya kepada anak-anak muda Muhammadiyah untuk tidak takut dan berhenti berpikir. Langkah itu banyak melahirkan kaum muda Muhammadiyah yang progresif, kreatif, dan inovatif.

Kedua, tangan midas Moeslim Abdurrahman. Kelahiran kaum muda progresif di Muhammadiyah juga tak dapat dipisahkan dari Moeslim Abdurrahman dan lembaga think thank yang semula dipimpinnya, MAARIF Institute.

Sentuhan Midas

Sebagai Direktur Eksekutif MAARIF Institute yang pertama, Kang Moeslim—begitu ia dipanggil oleh anak didiknya— memfasilitasi anak-anak muda Muhammadiyah di sekitar Jakarta untuk aktif beraktivitas dan berdiskusi di kantor lembaga ini.

Bermula dari Jakarta, Kang Moeslim berinisiatif untuk mengumpulkan potensi-potensi intelektual dan aktivis muda Muhammadiyah dari berbagai daerah lainnya. Hasilnya, workshop pertama (9-12 Oktober 2003) di Bogor, Jawa Barat menandai kelahiran JIMM. Tak lama berselang disusul dengan workshop kedua (Yogyakarta) dan ketiga (Malang).

Menurut salah satu anak didik Kang Moeslim, David Krisna Alka (Republika, 20/1/2020), kegiatan JIMM di Malang (18-20 November 2003) itu cukup menggemparkan wacana intelektual Indonesia. Berbagai media nasional tak ketinggalan menyiarkan kegiatan tersebut.

Berkat sentuhan midas Kang Moeslim, para kaum muda era itu kini telah ranum; Zuly Qodir, Zakiyuddin Baidhawy, Hilman Latief, Abd. Rohim Ghazali, Piet Hizbullah Khaidir, Fajar Riza Ul Haq, Ahmad Najib Burhani, Pradana Boy ZTF, Andar Nubowo, Ahmad Fuad Fanani, Ai Fatimah, Tuti Alawiyah, dan Moh. Shofan adalah segelintir dari sekian banyak yang telah ranum itu. Mereka memiliki pengaruh yang luas dan diakui secara akademik tidak hanya di kancah nasional, melainkan juga dunia internasional.

Generasi awal JIMM bisa dibilang beruntung. Beruntung, karena dibimbing dan dibina langsung oleh seorang intelektual langka seperti Moeslim Abdurrahman secara total; waktu, ilmu, raga, dan materi.

Banyak yang berharap pos mulia yang ditinggalkan Kang Moeslim tersebut akan segera terisi. Namun, sampai sekarang ini masih belum tampak juga tanda-tanda akan hal itu. Akibatnya, JIMM mulai mengalami erosi eksistensial.

Pascaperistiwa 2005, banyak yang menilai gerakan yang diusung kaum muda Muhammadiyah tersebut telah mati. Hal ini tidak sepenuhnya keliru. Dalam Muhammadiyah Berkemajuan: Pergeseran dari Puritanisme ke Kosmopolitanisme (2016: 143), Ahmad Najib Burhani memandang JIMM sudah kehabisan napas sebelum upayanya berhasil. Ditambah lagi dengan resistensi sebagian warga persyarikatan yang berkontribusi dalam meniarapkan tunas-tunas muda kritis itu.

Memang kenyataannya JIMM tidak banyak lagi bergiat. Namun, bukan berarti para kader-kadernya berhenti berkegiatan. Faktanya, banyak dari mereka yang kemudian melanjutkan studi tidak hanya di dalam negeri, tetapi juga di belahan dunia lainnya sebagaimana figur-figur muda yang telah disebutkan sebelumnya. Di antara mereka kini telah banyak yang purna atau sedang menyelesaikan studi doktoral, bahkan telah ada yang meraih gelar profesor.

Selama 18 tahun terakhir JIMM bergiat secara semi-klandestin. Selama itu pulalah depopulasi intelektual-aktivis muda Muhammadiyah berlangsung. Pasalnya, kaderisasi dan regenerasi intelektual cukup terabaikan. Akan tetapi, paguyuban intelektual yang menjadikan hermeneutika, teori sosial, dan new social movement sebagai pilarnya itu kini menggeliat kembali.

Akhirnya, muktamar pemikiran ini jelas merupakan fajar baru keinsafan JIMM. Sejarahlah yang menghendaki kelahiran JIMM. Mampukah mereka mengembannya?

TAK terasa Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) telah eksis selama 20 tahun. Tasyakurannya pun diekspresikan dengan menyelenggarakan Muktamar Pemikiran Islam Kaum Muda.

Kegiatan itu dapat dikatakan sebagai ikhtiar menyelamatkan kaum muda baru Muhammadiyah dari kebekuan berpikir. Adalah suatu keterpanggilan intelektual dan moral untuk mewadahi sekaligus mengumpulkan potensi-potensi kaum muda dari berbagai daerah.

Muktamar yang dihelat di Yogyakarta pada 22-24 Desember 2023 mengusung tema Intelektual Muda Muhammadiyah Abad ke-21: Mendorong Pembaharuan Pemikiran, Pengetahuan dan Perkaderan Muhammadiyah. Tentu, banyak hal yang mesti dicarikan formulanya di tengah zaman yang bergerak begitu cepat.

Hal yang tak kalah pentingnya dalam rentang perjalanan dua dekade paguyuban intelektual ini, adalah menjemput kembali hal-hal positif yang patut dijadikan sebagai bahan renungan bersama.

Pertama, lahirnya generasi awal kaum muda Muhammadiyah progresif pasca-Reformasi dapat dilihat sebagai sebuah kesinambungan sejarah dari pemikiran para pendahulu yang berhaluan progresif. Trio A seperti Abdul Munir Mulkhan, Amin Abdullah, dan Ahmad Syafii Maarif menjadi aktor yang banyak mewarnai corak pembaharuan pemikiran di tubuh Muhammadiyah.

Dalam pengamatan Sukidi (2005), trio tersebut saling menopang satu sama lain sesuai dengan peranannya masing-masing. Abdul Munir Mulkhan berperan penting terutama dalam menekankan pendekatan ‘kembali pada Al-Quran dan sunnah’ ke arah dinamisasi. Dengan penekanan semacam ini, maka pembaharuan dapat dimaknai sebagai gerak ke arah kemajuan yang manifestasinya berupa sikap terbuka, rasional, dan saintifik.

Begitupun Amin Abdullah, yang melakukan suatu lompatan besar kala menahkodai Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam. Hal ini, misalnya, terbukti dengan diterbitkannya tafsir tematik Al-Qur’an tentang Hubungan Sosial Antarumat Beragama (2000) yang bersemangat progresif-liberatif.

Sementara Ahmad Syafii Maarif selaku Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, telah membukakan keran yang seluas-luasnya kepada anak-anak muda Muhammadiyah untuk tidak takut dan berhenti berpikir. Langkah itu banyak melahirkan kaum muda Muhammadiyah yang progresif, kreatif, dan inovatif.

Kedua, tangan midas Moeslim Abdurrahman. Kelahiran kaum muda progresif di Muhammadiyah juga tak dapat dipisahkan dari Moeslim Abdurrahman dan lembaga think thank yang semula dipimpinnya, MAARIF Institute.

Sentuhan Midas

Sebagai Direktur Eksekutif MAARIF Institute yang pertama, Kang Moeslim—begitu ia dipanggil oleh anak didiknya— memfasilitasi anak-anak muda Muhammadiyah di sekitar Jakarta untuk aktif beraktivitas dan berdiskusi di kantor lembaga ini.

Bermula dari Jakarta, Kang Moeslim berinisiatif untuk mengumpulkan potensi-potensi intelektual dan aktivis muda Muhammadiyah dari berbagai daerah lainnya. Hasilnya, workshop pertama (9-12 Oktober 2003) di Bogor, Jawa Barat menandai kelahiran JIMM. Tak lama berselang disusul dengan workshop kedua (Yogyakarta) dan ketiga (Malang).
 
Menurut salah satu anak didik Kang Moeslim, David Krisna Alka (Republika, 20/1/2020), kegiatan JIMM di Malang (18-20 November 2003) itu cukup menggemparkan wacana intelektual Indonesia. Berbagai media nasional tak ketinggalan menyiarkan kegiatan tersebut.

Berkat sentuhan midas Kang Moeslim, para kaum muda era itu kini telah ranum; Zuly Qodir, Zakiyuddin Baidhawy, Hilman Latief,  Abd. Rohim Ghazali, Piet Hizbullah Khaidir, Fajar Riza Ul Haq, Ahmad Najib Burhani, Pradana Boy ZTF, Andar Nubowo, Ahmad Fuad Fanani, Ai Fatimah, Tuti Alawiyah, dan Moh. Shofan adalah segelintir dari sekian banyak yang telah ranum itu. Mereka memiliki pengaruh yang luas dan diakui secara akademik tidak hanya di kancah nasional, melainkan juga dunia internasional.

Generasi awal JIMM bisa dibilang beruntung. Beruntung, karena dibimbing dan dibina langsung oleh seorang intelektual langka seperti Moeslim Abdurrahman secara total; waktu, ilmu, raga, dan materi.

Banyak yang berharap pos mulia yang ditinggalkan Kang Moeslim tersebut akan segera terisi. Namun, sampai sekarang ini masih belum tampak juga tanda-tanda akan hal itu. Akibatnya, JIMM mulai mengalami erosi eksistensial.

Pascaperistiwa 2005, banyak yang menilai gerakan yang diusung kaum muda Muhammadiyah tersebut telah mati. Hal ini tidak sepenuhnya keliru. Dalam Muhammadiyah Berkemajuan: Pergeseran dari Puritanisme ke Kosmopolitanisme (2016: 143), Ahmad Najib Burhani memandang JIMM sudah kehabisan napas sebelum upayanya berhasil. Ditambah lagi dengan resistensi sebagian warga persyarikatan yang berkontribusi dalam meniarapkan tunas-tunas muda kritis itu.

Memang kenyataannya JIMM tidak banyak lagi bergiat. Namun, bukan berarti para kader-kadernya berhenti berkegiatan. Faktanya, banyak dari mereka yang kemudian melanjutkan studi tidak hanya di dalam negeri, tetapi juga di belahan dunia lainnya sebagaimana figur-figur muda yang telah disebutkan sebelumnya. Di antara mereka kini telah banyak yang purna atau sedang menyelesaikan studi doktoral, bahkan telah ada yang meraih gelar profesor.

Selama 18 tahun terakhir JIMM bergiat secara semi-klandestin. Selama itu pulalah depopulasi intelektual-aktivis muda Muhammadiyah berlangsung. Pasalnya, kaderisasi dan regenerasi intelektual cukup terabaikan. Akan tetapi, paguyuban intelektual yang menjadikan hermeneutika, teori sosial, dan new social movement sebagai pilarnya itu kini menggeliat kembali.

Akhirnya, muktamar pemikiran ini jelas merupakan fajar baru keinsafan JIMM. Sejarahlah yang menghendaki kelahiran JIMM. Mampukah mereka mengembannya?

Partai

Institusi

K / L

BUMN

NGO

Organisasi

Perusahaan

Kab/Kota

Negara

Topik

Kasus

Agama

Brand

Club Sports

Event

Grup Musik

Hewan

Tanaman

Produk

Statement

Fasum

Transportasi