Bangkalan (beritajatim.com) – Memorandum of Understanding (MoU) yang dibuat Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Bangkalan dengan pihak sekolah menuai sorotan. Isi kesepakatan dianggap memberatkan sekolah hingga memunculkan protes dari Cabang Dinas Pendidikan (Cabdindik) Jatim Wilayah Bangkalan.
Kepala Cabdindik Bangkalan, Pinky Hidayati, menyebut ada dua poin utama yang bermasalah. Pertama, kewajiban sekolah mengganti ompreng senilai Rp80 ribu jika rusak atau hilang.
“Sekolah tidak punya anggaran untuk itu. Karena itu kami minta klausul penggantian alat makan dihapus,” ujarnya, Senin (29/09/2025).
Hasilnya, klausul itu direvisi. Tanggung jawab kerusakan maupun kehilangan kini diselesaikan melalui musyawarah antara sekolah dan SPPG, bukan lagi sepenuhnya dibebankan ke sekolah.
Poin kedua yang dipersoalkan adalah larangan sekolah mempublikasikan kasus Makan Bergizi Gratis (MBG) bermasalah, seperti basi, rusak, atau menimbulkan keracunan, sebelum ada klarifikasi dari SPPG.
Menurut Pinky, aturan itu berlebihan. Sekolah tak bisa membatasi siswa maupun orang tua untuk bersuara. Hak anak dan orang tua untuk menyampaikan informasi harus dihormati, terlebih jika menyangkut kesehatan.
“Kami tidak mau anak didik bermasalah hanya karena memviralkan kejadian. Kalau pun ada larangan, biarlah itu mengikat guru dan kepala sekolah, bukan siswa dan wali murid,” tegasnya.
Sementara itu, Koordinator Wilayah SPPG Bangkalan, Ivan Mahardika Yusuf, belum memberikan tanggapan meski sudah dihubungi.
Sebagai informasi, program MBG di Bangkalan sebelumnya sempat disorot setelah ditemukan makanan basi dan berulat saat didistribusikan ke siswa. [sar/ian]
