Surabaya (beritajatim.com) – Sidang kasus dugaan pengiriman batu bara sebanyak 57 kontainer ilegal yang melibatkan Direksi PT Best Prima Energy (BPE), Yuyun Hermawan, dan Chairil Almuthari sebagai terdakwa kembali berlanjut di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, di mana keterangan dua saksi yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) belum mampu mengungkap siapa pihak pengorder atau penerima akhir dari 57 kontainer batu bara yang didatangkan dari Ibu Kota Nusantara (IKN) tersebut. Kasus ini menyoroti praktik penyelundupan komoditas tambang tanpa izin resmi.
JPU Hajita Cahyo Nugroho mendatangkan dua saksi, yaitu Yulia selaku Kepala Cabang (Kacab) di PT Meratus Line (ML) dan Bekti Perbawa selaku karyawan dari PT Triyasa Pirsa Utama (TPU).
Yulia, yang bersaksi di awal, mengatakan dirinya mengenal Yuyun Hermawan sebagai relasi yang bekerja sama dalam bentuk pengiriman lewat jasa pelayaran PT ML, namun ia tidak mengenal terdakwa Chairil Almuthari.
“Ada hubungan kerja sama perusahaan PT ML dengan Yuyun Hermawan selaku Direksi PT BPE berupa pengiriman lewat jasa pelayaran,” ungkapnya.
Yulia menjelaskan, meskipun tidak ada perjanjian kerja sama tertulis, proses pengiriman sudah berlangsung sejak akhir Juni sebelum ia menjabat Kacab di PT ML. “Kerja sama tidak ada perjanjiannya, karena sistemnya, pengirim bisa booking lalu membawa barang ke terminal,” terangnya.
Lebih lanjut, saksi menyampaikan bahwa biaya pengiriman per kontainer adalah sekitar Rp 5 juta, sehingga diperkirakan total keseluruhan biaya pengiriman 57 kontainer dari Balikpapan ke Surabaya senilai Rp 285 juta, namun biaya tersebut belum terealisasi pembayarannya. Saat ditanya mengenai perusahaan apa yang menjadi penerima, saksi secara tegas menyebut tidak tahu. “Tujuan ke perusahaan apa saya tidak tahu,” urai saksi.
Terkait dokumen PT BPE sebelum pengiriman, Yulia menjelaskan beberapa dokumen diterima PT ML kemudian diproses untuk mengeluarkan Bill Of Landing. Namun, PT ML tidak memiliki wewenang untuk memverifikasi keaslian dokumen.
“Yuyun Hermawan mewakili PT BPE yang berkomunikasi langsung terkait pengiriman 57 kontainer batu bara disertai beberapa dokumen. PT ML tidak berwenang verifikasi keaslian dokumen,” ujar saksi.
Sementara, Bekti Perbawa selaku karyawan PT TPU, perusahaan yang bergerak di bidang surveyor inspeksi muatan batu bara, juga masih belum bisa menyingkap tabir siapa nama penerima 57 kontainer tersebut. Bekti menerangkan, perusahaan PT TPU menerima data dari Shipper lalu menerbitkan Instructions dan melakukan verifikasi secara teknis di lapangan.
“Kegiatan di lapangan guna memastikan sesuai secara SO, untuk memastikan kami berpegang surat dari shiper,” ucapnya.
Bekti Perbawa juga mengaku memiliki sertifikasi kompetensi untuk verifikasi di wilayah Samboja, yaitu tempat penumpukan atau gudang batu bara. Di ujung keterangannya, Bekti menyatakan lupa siapa pihak yang melakukan pembayaran royalti. Atas keterangan kedua saksi, kedua terdakwa, Yuyun Hermawan dan Chairil Almuthari, masing-masing menyatakan tidak keberatan.
Perlu diketahui, dalam dakwaan JPU Hajita Nurcahyo, terdakwa Yuyun Hermawan didakwa melakukan penyelundupan 57 kontainer batu bara ilegal dari Kalimantan untuk didistribusikan ke Surabaya. Terdakwa diduga telah membeli batu bara ilegal dari penambang tanpa izin, termasuk dari seorang oknum perwira pertama militer di Balikpapan yang disebut Kapten AY, serta dari tambang yang terafiliasi dengan purnawirawan militer Letkol Purnawirawan HD.
Total 57 kontainer yang memuat 1.140 ton batu bara ilegal dari kawasan IKN ini berhasil digagalkan Bareskrim Polri saat sidak di Blok G Depo Meratus Pelabuhan Tanjung Perak pada 2 Juli lalu. Rencananya, batu bara tersebut akan dijual ke industri atau pabrik di wilayah Surabaya dan sekitarnya dengan harga Rp 26,5 juta per kontainer. Atas perbuatannya, Yuyun dijerat dengan Pasal 161 UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. [uci/beq]
