Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa meyakini investor masih akan tertarik dengan obligasi pemerintah atau SBN di tengah tren pelonggaran kebijakan moneter, baik di Indonesia hingga Amerika Serikat (AS).
Sebagaimana diketahui, Bank Indonesia (BI) kembali memangkas kebijakan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 4,75% pada September 2025.
Langkah itu turut disusul keputusan bank sentral AS, Federal Reserve (The Fed), untuk memangkas kebijakan suku bunganya 25 bps ke level 4,25%. Situasi itu diperkirakan bisa berpengaruh kepada penurunan imbal hasil atau yield obligasi.
Namun demikian, Menkeu Purbaya usai bertemu dengan Presiden Prabowo Subianto, Jumat (19/9/2025), menyebut ketertarikan investor asing pada obligasi tidak hanya dipengaruhi oleh yield melainkan juga stabilitas negara tersebut. Utamanya, prospek pertumbuhan ekonomi.
“Walaupun yield-nya misalnya selisihnya lebih dikit dibanding di luar, tapi kalau betul-betul stabil dan ada potensi penguatan nilai tukar, kalau ekonominya bagus, orang masuk ke sini, nilai tukarnya akan membaik. Jadi ketika kita ciptakan prospek ekonomi yang bagus, asing akan cenderung masuk ke sini,” jelas Purbaya di Istana Kepresidenan, dikutip Sabtu (20/9/2025).
Pria yang pernah menjabat di dewan direksi PT Danareksa (Persero) itu menjelaskan, obligasi pemerintah akan tetap menarik meski imbal hasilnya turun apabila ada keuntungan potensial dari prospek pertumbuhan ekonomi yang lebih baik serta apresiasi nilai tukar rupiah.
Dalam hal ini, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2% pada 2025. Sementara itu, pada RAPBN 2026, pemerintah menargetkan pertumbuhan lebih tinggi yakni 5,4%.
“Jadi kalau stabil aja mereka suka, apalagi kalau ada ekspektasi rupiah menguat, jadi anda nggak usah takut. Selama kita bisa menciptakan prospek pertumbuhan ekonomi yang bagus, mereka akan masuk ke sini,” terangnya.
Kendati demikian, pemerintah memiliki tantangan berupa pengelolaan fiskal. Seperti diketahui, pemerintah menaikkan target defisit RAPBN 2026 ke 2,68% terhadap PDB atau lebih tinggi dari postur sebelumnya yakni 2,48%.
Hal itu sejalan dengan peningkatan rancangan belanja yang utamanya didorong oleh anggaran transfer ke daerah (TKD) dari sebelumnya Rp650 triliun menjadi Rp693 triliun.
Purbaya menjelaskan bahwa kenaikan target defisit menjadi konsekuensi dari lebih tingginya belanja. Hal itu diperlukan karena ada aspirasi untuk mencegah kenaikan pajak daerah besar-besaran karena kebutuhan pendapatan pemda.
Nantinya, kebijakan itu diharapkan bisa menciptakan stabilitas dan mempermudah laju pertumbuhan ekonomi. Sehingga prospek pertumbuhan ekonomi diharapkan membaik dan investor pun tetap memiliki kepercayaan.
“Jadi kita enggak ada gunanya menghemat uang, kalau keributan di mana-mana dan kita enggak bisa membangun. Ini sepertinya rugi, tapi sedikit nanti untungnya banyak ketika ekonomi stabil,” jelasnya.
