Mengupas Miskonsepsi dan Fakta di Balik Kasus Pertamina
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Dugaan korupsi di PT
Pertamina
(Persero) dan anak perusahaannya mengguncang publik. Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan tujuh tersangka dalam kasus yang diduga merugikan negara hingga Rp 193,7 triliun tersebut.
Isu yang mencuat terkait Pertamina tidak hanya soal korupsi, tetapi juga mengenai istilah “oplosan” bahan bakar yang memicu kebingungan masyarakat.
Dalam
talkshow
“Industrial Summit 2025: Kasus Pertamina vs Kepercayaan Publik” yang disiarkan langsung oleh
Kompas TV
, Rabu (5/3/2025), lima narasumber memberikan pandangan mengenai kasus itu dari berbagai sudut.
Mereka adalah Pakar Konversi Institut Teknologi Bandung (ITB) Tri Yuswidjajanto Zaenuri, Pendiri Lokataru Haris Azhar, Anggota Komisi XII DPR RI Eddy Soeparno, Chief Executive Officer (CEO) & Co-Founder Katadata Metta Dharmasaputra, dan Anggota Dewan
Energi
Nasional (DEN) Eri Purnomohadi.
Di tengah berbagai spekulasi berkembang, Tri berupaya memberikan pemahaman lebih jernih mengenai proses
blending
dalam produksi
bahan bakar minyak
(
BBM
).
Menurutnya,
blending
adalah praktik umum dan sah di seluruh dunia. Tujuannya, mencapai spesifikasi tertentu pada BBM. Proses ini tidak sekadar mencampur BBM dengan Ron yang berbeda, tetapi juga mempertimbangkan berbagai parameter penting, seperti massa jenis, viskositas, dan kadar sulfur.
“Kalau misalnya RON 92 dicampur dengan RON 90, hasilnya adalah RON 91. Jika ini dijual sebagai Pertalite, konsumen diuntungkan karena kinerja kendaraannya membaik,” jelas Tri.
Tri menegaskan,
blending
tidak hanya dilakukan di kilang minyak, tetapi juga di terminal bahan bakar minyak (TBBM). Misalnya, dalam pembuatan solar B40. Pencampuran biodiesel dan solar dilakukan di TBBM, bukan di kilang.
Hal tersebut menunjukkan, pencampuran bahan bakar di luar kilang adalah hal lazim dan diatur dalam regulasi.
Lebih lanjut, Tri juga menyoroti peran aditif deterjen dalam Pertamax yang tidak ada pada Pertalite. Aditif ini berfungsi menjaga kebersihan katup mesin, mencegah pemborosan bahan bakar, dan mengurangi emisi gas buang.
Jika benar terjadi pengoplosan Pertalite dengan Pertamax, seharusnya ada perubahan kinerja mesin yang terasa oleh konsumen. Tri mencontohkan, tarikan kendaraan yang lebih berat dan konsumsi bahan bakar lebih boros.
Selain itu, pewarnaan bahan bakar juga memiliki fungsi penting sebagai penanda visual dan tidak memengaruhi kualitas BBM. Warna juga berfungsi sebagai kontrol di SPBU untuk memastikan konsumen mendapatkan produk sesuai dengan dispenser. Proses ini diawasi dengan ketat dan harus melalui tahapan sertifikasi sesuai dengan regulasi yang berlaku.
Pernyataan itu sekaligus meredakan kekhawatiran publik mengenai tuduhan “oplosan” yang berkembang di media sosial. Tri memastikan bahwa proses
blending
yang benar tidak akan merugikan konsumen, justru bisa meningkatkan performa kendaraan.
“Jika benar terjadi pengoplosan dalam skala besar, publik pasti akan merasakan dampaknya dan hal ini sangat mungkin akan menjadi viral, seperti kejadian-kejadian sebelumnya yang cepat terungkap melalui laporan masyarakat,” tuturnya.
Keresahan juga disampaikan Metta. Ia menyoroti pentingnya penggunaan istilah tepat dalam pemberitaan kasus tersebut.
Menurutnya, penggunaan kata “oplosan” dalam konteks BBM sangat berpotensi memicu keresahan publik. Pasalnya, istilah tersebut biasanya dikaitkan dengan tindakan ilegal atau curang.
”
Blending
itu sah dan diatur dalam regulasi. Kita tidak pernah menyebut
cappuccino
sebagai ‘
oplosan
kopi’. Sama halnya dengan
blending
BBM. Sebaiknya, kita menggunakan istilah yang lebih tepat, seperti ‘pencampuran’ atau ‘
blending
‘,” tekan Metta.
Metta juga mengingatkan bahwa penggunaan istilah yang salah bisa memicu distorsi opini publik. Ia khawatir jika narasi negatif ini terus berkembang, masyarakat bisa terprovokasi dan melakukan tindakan di luar kendali, seperti yang pernah terjadi pada kasus pajak Gayus Tambunan di masa lalu.
Saat itu, seluruh pegawai pajak terkena stigma negatif. Padahal tidak semua terlibat dalam kasus tersebut.
Lebih lanjut, Metta menekankan peran penting media dalam menjaga narasi tetap seimbang dan berbasis data. Ia mendorong agar media tidak sekadar mengikuti arus opini di media sosial, tetapi memberikan edukasi kepada publik mengenai perbedaan
blending
dan oplosan sesuai konteks teknis dan regulasi yang ada.
Namun, tidak hanya sekadar narasi yang tepat, pengawasan dalam pengadaan dan distribusi BBM juga menjadi elemen penting untuk memastikan
transparansi
dan mencegah penyimpangan.
Selain masalah teknis mengenai
blending
, isu transparansi dalam pengadaan dan distribusi BBM juga menjadi perhatian utama para narasumber. Berbagai aspek pengawasan disoroti, mulai dari proses impor, mekanisme kompensasi, hingga keterbatasan kapasitas kilang dalam negeri.
Haris mengungkapkan adanya indikasi manipulasi dalam proses impor BBM oleh Pertamina. Ia menyebut data Kementerian ESDM yang menunjukkan impor RON 90 dari Singapura. Padahal, negara tersebut hanya memproduksi BBM dengan RON 92, 95, dan 97.
Hal itu memicu dugaan adanya manipulasi administrasi dan penggelembungan harga yang berpotensi memberikan keuntungan besar kepada pihak tertentu melalui selisih kompensasi yang dibayarkan pemerintah.
Lebih jauh, Haris juga mengusulkan agar para tersangka dalam kasus tersebut bisa menjadi
whistleblower
atau
justice collaborator
. Langkah ini penting untuk membantu membuka praktik-praktik mafia migas di Indonesia yang, menurutnya, bukan isu baru.
Dengan adanya
whistleblower
, proses hukum dapat lebih terarah dan berpotensi mengungkap aktor utama di balik kasus ini.
Isu transparansi juga mencuat dalam mekanisme kompensasi pengadaan BBM. Eddy menjelaskan, mekanisme kompensasi pengadaan BBM melibatkan Kementerian Keuangan dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam proses verifikasi sebelum kompensasi dibayarkan kepada Pertamina.
Meski pengawasan cukup ketat, Eddy menyoroti masih ada celah yang bisa dimanfaatkan oknum tertentu. Ia pun mendorong agar pengawasan internal di Pertamina diperkuat, khususnya melalui peran komisaris yang harus lebih proaktif dan tidak sekadar menjadi “penonton” dalam pengawasan operasional perusahaan.
Eddy juga menekankan pentingnya audit menyeluruh terhadap produksi dan kapasitas kilang Pertamina agar tidak ada celah dalam pengadaan BBM.
Sementara itu, Eri menyoroti keterbatasan kapasitas kilang dalam negeri sebagai alasan utama mengapa Indonesia masih mengimpor BBM. Kilang dalam negeri hanya mampu memproses sekitar 600.000 barel per hari, sedangkan kebutuhan nasional mencapai hampir dua kali lipatnya.
Eri menilai, selama kapasitas kilang belum memadai, impor BBM tak terhindarkan. Namun, yang menjadi perhatian utamanya adalah kurangnya transparansi dalam proses impornya.
“Impor BBM memang tidak bisa dihindari karena keterbatasan kilang dalam negeri. Tetapi, yang menjadi masalah adalah ketidaktransparanan dalam proses impornya,” tegasnya.
Sebagai solusi, Eri mengusulkan pembangunan kilang baru dengan kapasitas 500.000 barel per hari untuk meningkatkan kemandirian
energi
dan mengurangi ketergantungan pada impor BBM.
Selain itu, pembentukan cadangan penyangga energi nasional juga diperlukan untuk menjaga stabilitas pasokan energi di masa depan.
Kelima narasumber sepakat bahwa kasus itu perlu segera dibawa ke persidangan terbuka. Selain untuk memastikan transparansi, persidangan terbuka juga akan memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai tata kelola energi yang baik.
Dengan langkah konkret berupa sidang terbuka dan reformasi struktural, diharapkan pula kepercayaan publik terhadap Pertamina dan BUMN lainnya dapat kembali pulih.
“Jangan sampai kasus ini hanya ganti pemain, tetapi sistemnya tetap sama. Kita butuh reformasi struktural, baik di Pertamina maupun dalam regulasi pengawasan impor BBM,” ucap Haris.
Hal senada turut disampaikan Metta. Ia mendukung ide diadakannya sidang terbuka. Menurutnya, transparansi adalah kunci untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap Pertamina dan BUMN pada umumnya.
Selain itu, ia berharap, proses hukum tidak dicampuradukkan dengan kepentingan politik agar hasilnya benar-benar obyektif dan dapat dipercaya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Mengupas Miskonsepsi dan Fakta di Balik Kasus Pertamina
/data/photo/2025/03/06/67c9741d72b81.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)