Mengenal Metode Konversi Suara Partai di Pileg Jadi Kursi DPR

18 March 2024, 10:42

Jakarta, CNN Indonesia — Proses rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Pemilu 2024 tingkat nasional tengah bergulir di Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI.
Jumlah suara sah partai politik dan calon legislatif (caleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di tiap daerah pemilihan (dapil) pun telah diketahui dari proses ini.
Itu artinya jumlah perolehan kursi dan nama-nama caleg terpilih sudah dapat dihitung.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun, bagaimana cara mengonversi perolehan suara menjadi jumlah kursi DPR?
Aturan mengenai hal itu telah tercantum dalam Pasal 415 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) dan Pasal 13 ayat (1) Peraturan KPU (PKPU) 6 Tahun 2024 tentang Penetapan Pasangan Calon Terpilih, Penetapan Perolehan Kursi, dan Penetapan Calon Terpilih dalam Pemilihan Umum.

“Dalam hal penghitungan perolehan kursi DPR, suara sah setiap partai politik yang memenuhi ambang batas perolehan suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 414 ayat (1) dibagi dengan bilangan pembagi 1 dan diikuti secara berurutan oleh bilangan ganjil 3; 5; 7; dan seterusnya,” demikian bunyi Pasal 415 ayat (2) UU Pemilu.
Hal senada ditegaskan oleh Anggota KPU RI August Mellaz.
August mengatakan terdapat banyak metode hitung untuk mengubah suara jadi kursi. Namun, ada satu metode yang telah ditetapkan untuk digunakan di Pemilu Indonesia.
“Dari banyaknya metode itu, untuk Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 disepakati disebutnya metode bilangan pembagi tetap yang dimulai dengan bilangan 1, 3, 5 dan seterusnya, yang disebut metode bilangan ganjil. Kalau secara konsep, metode bilangan ganjil yang digunakan di Indonesia itu secara konsep disebut metode Divisor varian Webster Sainte Lague,” ujar August kepada CNNIndonesia.com.
August memaparkan, proses penghitungan dimulai dengan diketahuinya jumlah suara sah dari partai politik. Jumlah ini merupakan total suara pemilih yang mencoblos logo partai politik dan semua caleg dalam suatu dapil.
Kemudian, hanya partai yang lolos ambang batas parlemen atau Parliamentery Threshold 4 persen yang akan diikutsertakan dalam proses penghitungan perolehan kursi.
Sebelum berhitung, perlu diketahui juga berapa jumlah kursi yang tersedia dalam dapil tersebut.
August menjelaskan proses menghitung dengan metode ini dimulai dari jumlah suara sah partai A dibagi dengan bilangan 1, 3, 5, 7, dan seterusnya. Hal ini berlaku untuk seluruh partai politik yang lolos ambang batas parlemen.
“Nanti di situ dicari rata-rata terbesar mana yang ke-1 sampai jumlah kursi yang disediakan di dapil. Kalau misalnya kursinya ada 10, berarti peringkat pertama sampai kesepuluh siapa,” kata August.
“Jadi akan ketahuan misalnya partai A di suatu dapil akan mendapatkan kursi pertama dari sepuluh kursi yang disediakan. Partai B misalnya kursi kedua dari sepuluh kursi yang disiapkan,” jelas dia.

Mari kita coba simulasi. CNNIndonesia.com akan menggunakan dapil DKI Jakarta II sebagai contoh dalam simulasi konversi suara kali ini.
Perlu diketahui, dapil DKI Jakarta II menyediakan jatah 7 kursi untuk diisi oleh para caleg terpilih.
CNNIndonesia.com kemudian mengikuti langkah demi langkah seperti yang dijelaskan August. Jumlah suara sah semua partai politik yang lolos ambang batas parlemen pun dimasukkan satu per satu. Perolehan itu lalu dibagi dengan angka 1, 3, 5, 7, dan seterusnya.
Setelah itu, CNNIndonesia.com meng-highlight perolehan suara dari yang peringkat satu hingga peringkat ketujuh.
Hasilnya, PKS mendapat dua jatah kursi. Sedangkan PDIP, Partai Golkar, Partai Gerindra, PKB, dan PAN masing-masing mendapat satu kursi.
Lalu, bagaimana menentukan caleg terpilih yang berhasil duduk di kursi tersebut?
August menjelaskan pada prinsipnya, penetapan calon terpilih telah diatur dalam UU Pemilu. Ia menyebut caleg yang berhak untuk menduduki kursi yang diperoleh oleh partai politik adalah caleg yang memiliki peringkat perolehan suaranya paling besar di dapil tersebut.
Adapun hal itu juga telah diatur dalam Pasal 422 UU Pemilu.
“Penetapan calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dari Partai Politik Peserta Pemilu didasarkan pada perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu di suatu daerah pemilihan ditetapkan berdasarkan suara terbanyak yang diperoleh masing-masing calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota di satu daerah pemilihan yang tercantum pada surat suara,” bunyi pasal tersebut.
Peluang ‘dimainkan’ parpol
CNNIndonesia.com lalu bertanya apakah ada peluang partai politik mengakali caleg yang terpilih untuk melenggang ke Senayan meskipun caleg tersebut bukan caleg dengan peringkat perolehan suara tertinggi.
August mengatakan bahwa KPU tidak akan masuk ke masalah internal partai politik.
Ia menegaskan bahwa penetapan calon terpilih juga telah diatur dalam Undang-undang.
“Gini, KPU kan punya wilayahnya sendiri. Ya, kita pastikan penghitungan perolehan kursi partai politik itu untuk partai dapat berapa kursi. Nah, kalau kemudian sudah definitif berapa kursi yang didapatkan oleh suatu parpol di suatu daerah pemilihan, maka kemudian giliran berikutnya adalah penetapan calon terpilih. Nah, penetapan calon terpilih itu juga diatur undang-undang. (Harus caleg dengan suara terbanyak) undang-undangnya menyatakan demikian,” tutur August.
Penggantian caleg terpilih ini pernah terjadi pada Pemilu 2019 silam. Salah satu contohnya adalah perkara Mulan Jameela Cs yang menggantikan sejumlah caleg terpilih dari Partai Gerindra.
Kala itu, Wakil Ketua Bidang Advokasi Partai Gerindra, Hendarsam Marantoko mengklaim pemecatan lima caleg terpilih dilakukan karena mereka diputus melanggar etik oleh Majelis Kehormatan Partai Gerindra. Hendarsam mengakui putusan itu jadi dasar pergantian caleg terpilih.
Dihubungi terpisah, Dosen Kepemiluan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI) Titi Anggraini menilai kasus seperti Mulan terjadi bukan karena celah yang ada pada sistem konversi suara menjadi kursi.

“Penentuan caleg sepenuhnya berdasar suara terbanyak. Penyimpangan dan akal-akalan terjadi karena caleg dan partai memainkan hukum dan menyimpangi aturan main hukum pemilu yang ada,” kata Titi.
“Persoalan lainnya, terletak pada ketentuan yang ada dalam UU Pemilu dan Peraturan KPU yang memungkinkan pergantian calon terpilih oleh parpol dengan alasan tidak lagi memenuhi syarat termasuk di dalamnya akibat pemecatan dari keanggotaan partai,” sambung dia.
Titi lantas menyayangkan KPU yang tidak memiliki aturan lebih rinci terkait pergantian caleg terpilih dalam kontestasi Pemilu.
“Sayangnya, KPU tidak membuat aturan lebih lanjut bahwa harus ada klarifikasi dan pemeriksaan yang akuntabel atas pergantian caleg terpilih tersebut. Selama ini KPU cenderung hanya mengikuti saja keputusan parpol yang melakukan penggantian caleg terpilih mereka dengan caleg suara terbanyak berikutnya,” ucap Titi.
Menurut Titi, persoalan yang terjadi bukan pada metode atau sistem konversi suara menjadi kursi Sainte Lague, melainkan akibat perilaku tidak demokratis partai politik dalam menghormati suara terbanyak pilihan rakyat.
“Mereka bukan bermain dengan metode Sainte Lague. Mereka menggunakan cara-cara nondemokratis dan upaya hukum nonpemilu untuk mengakali status calon terpilih berdasar suara terbanyak. Jadi tepatnya, mereka melakukan akal-akalan untuk bisa dikukuhkan sebagai caleg terpilih di pemilu meskipun tidak memperoleh suara terbanyak,” imbuh dia. (pop/wis)

[Gambas:Video CNN]

Partai

K / L

BUMN

NGO

Organisasi

Perusahaan

Kab/Kota

Provinsi

Negara

Topik

Kasus

Agama

Brand

Club Sports

Event

Grup Musik

Hewan

Tanaman

Produk

Statement

Fasum

Transportasi