Mengapa Kebebasan Pers Penting bagi Pembangunan?

Mengapa Kebebasan Pers Penting bagi Pembangunan?

Mengapa Kebebasan Pers Penting bagi Pembangunan?
Ketua Komite Eksekutif Indonesian Consortium for Cooperatives Innovation (ICCI), Sekretaris Umum Asosiasi Neo Koperasi Indonesia (ANKI) dan Pengurus Pusat Keluarga Alumni Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED)
INSIDEN
pencabutan ID Pers Istana jurnalis
CNN Indonesia,
Diana Valencia (28/9) perlu diwaspadai. Setelah diprotes oleh Dewan Pers, AJI, IJTI dan organisasi masyarakat sipil lain, Biro Pers, Media, dan Informasi (BPMI) Setpres, selang sehari mengembalikan kartu itu (29/9).
BPMI Setpres berdalih karena pertanyaan Diana kepada Presiden Prabowo Subianto, soal keracunan massal Makan Bergizi Gratis (MBG), di luar konteks liputan.
Peristiwa itu bukan sekadar kesalahpahaman kecil. Namun, peluang tergelincirnya kembali Indonesia ke masa pembatasan kebebasan pers.
Tanpa pers bebas,
blind spots
bisa terjadi. Kasus seperti keracunan massal MBG bisa tak tersampaikan kepada pemimpin negara.
Di tengah budaya Asal Bapak Senang (ABS), pers yang bebas bisa beri informasi lapangan yang berharga bagi Presiden.
Dengan cara itu, Presiden dapat ambil langkah perbaikan cepat. Pembangunan, semisal program MBG, bisa secepatnya dievaluasi. Alhasil program pembangunan Pemerintah menjadi lebih baik.
Bayangkan rumah tanpa jendela. Gelap, tak tahu apa di luar. Pemerintah menjadi buta, krisis tak terdeteksi.
“The J Curve, A New Way to Understand Why Nations Rise and Fall” (2006) karya Ian Bremmer masih relevan dibaca. Dalam bukunya itu, ia gambarkan hubungan antara tingkat keterbukaan sebuah negara, termasuk kebebasan pers dan akses informasi, dengan stabilitas politiknya.
Mari bayangkan kurva berbentuk huruf J miring pada sumbu X dan Y. Keterbukaan negara di sumbu X dan stabilitas politik di sumbu Y.
Di sisi kiri kurva, ada negara tertutup seperti Korea Utara, di mana stabilitas tampak tinggi karena kontrol ketat.
Lalu naik ke sisi kanan, ada negara seperti Amerika dan Jepang, di mana keterbukaan justru jadi “lem” yang menahan guncangan.
Di antara sisi kiri dan kanan, ada lembah di huruf J, itulah negara-negara dalam masa transisi. Ketika mereka melewati “lembah”, ketidakstabilan seperti konflik, protes, dan kekacauan muncul karena institusi belum matang.
Namun, jika berhasil, maka mereka akan berada di sisi kanan seperti negara demokratis lainnya. China masih berada di situ.
Dalam bukunya, Bremmer tegaskan pers dan informasi bebas akan dorong akuntabilitas. Laporan suatu krisis akan picu evaluasi dan perbaikan. Pemerintah menjadi responsif dan program pembangunan yang sempat tergelincir, bisa secepatnya dikembalikan ke rel.
Ada dua kasus menarik yang dibedah Bremmer, Korea Utara dan China. Korea Utara adalah contoh paling ekstrem, sangat tertutup, dengan kontrol ketat atas informasi, media, dan interaksi dengan dunia luar.
Bremmer jelaskan rezim Kim, dari Kim Il-sung hingga Kim Jong-il, pertahankan stabilitas melalui isolasi total. Namun, itu justru membuat negara rapuh terhadap krisis internal.
Dalam bukunya, ia gambarkan bagaimana pembatasan pers dan informasi sebabkan malapetaka kelaparan, yang tewaskan antara 240.000 hingga 3,5 juta orang atau 15,9 persen dari total populasi 22 juta jiwa saat itu.
Mereka meninggal karena kelaparan atau penyakit yang berkaitan dengan kelaparan. Itu terjadi pada 1994-1998 yang dikenal sebagai
Arduous March.
Penyebab utamanya adalah pertanian gagal karena banjir, kekeringan, dan kebijakan ekonomi yang buruk.
Rezim Kim sembunyikan peristiwa kelaparan massal itu dari dunia internasional dan bahkan dari rakyatnya sendiri.
Rezim menolak bantuan luar karena takut kontaminasi ide asing, yang ancam kontrol mereka. Saat akhirnya menerima bantuan dari PBB, kondisinya sudah terlambat.
Tanpa pers bebas dan informasi dibatasi, Pemerintah terlambat menyadari kegentingan dan eskalasi suatu masalah. Di Korea Utara isolasi total untuk pertahankan stabilitas rezim, dibayar dengan jutaan korban jiwa.
Kasus kedua, China. Bremmer menilainya sebagai negara yang sedang bergeser dari sisi kiri kurva J menuju tengah, tapi tetap dengan kontrol politik ketat.
Dulu di bawah Mao Zedong, China adalah negara tertutup. Mao luncurkan kebijakan industrialisasi paksa dan gagal total. Dampaknya kelaparan terburuk dalam sejarah manusia yang sebabkan 15 juta-55 juta kematian.
Bencana itu dikenal sebagai
Great Leap Forward Famine
yang terjadi pada 1959-1961. Bremmer menyoroti bagaimana pembatasan pers memperburuk keadaan.
Laporan resmi dipalsukan untuk menyenangkan partai. Kritik dilarang, dan wartawan atau pejabat yang melaporkan kegagalan dihukum dan dicap sebagai “kontra-revolusioner”.
Padahal, tanpa informasi yang bebas, Pemerintah tidak tahu skala masalah di daerah pedesaan. Di bawah bayangan gelap ABS, mereka merasa kondisi baik-baik saja. Mereka tak sempat mobilisasi bantuan dunia internasional untuk tangani masalah itu.
Meski China modern lebih terbuka secara ekonomi, sensor pers dan internet masih berlangsung. Bremmer melihat hal itu bisa sebabkan instabilitas jika “lembah” kurva J tidak dikelola dengan baik.
Sebab suara masyarakat dikontrol oleh rezim panopticon yang memungkinkan benih krisis tersembunyi dan terlambat ditangani.
Bagaimana dengan kita? Indonesia pasca-Reformasi sudah berada di puncak sisi kanan kurva ini.
Dari rezim otoriter Orde Baru yang sensor pers dan lakukan pembatasan informasi, bergeser ke demokrasi terbuka. Media bebas, informasi terbuka dan pemilu multipartai adalah penanda.
Meski kita punya PR. Satu dekade terakhir demokrasi kita tak baik-baik saja. Peneliti ANU seperti Jaffrey dan Warburton dalam “The Jokowi Presidency” (2025), nyatakan sebagai “Indonesia’s Decade of Authoritarian Revival”. Pilar-pilar kelembagaan demokrasi dirusak dengan berbagai manuver otokratis legalisme.
Patut bagi Presiden Prabowo Subianto lebih berhati-hati dan tidak menambah kerusakan dengan pembatasan pers.
 
Sebaliknya, perlu baginya sebagai Kepala Negara dan Pemerintahan, merestorasi bangunan demokrasi kita yang cacat ini (
flawed democracy
). Penguatan peran pers salah satunya.
Dalam Indeks Kebebasan Pers Dunia 2025, Indonesia di peringkat 127, turun 16 peringkat dari tahun sebelumnya.
Lalu The Economist Intelligence Unit (EIU) 2025 mencatat skor demokrasi Indonesia tahun 2024 pada 6,44 dari skala tertinggi 10.
Padahal satu dekade lalu, skor kita pernah mencapai 7,03 (2015). Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, meski berlatar belakang militer, nampaknya justru mafhum ihwal demokrasi dan supremasi sipil.
Kasus Korea Utara dan China perlu jadi
lesson learned
bagi kita. Insiden Diana Valencia juga perlu Presiden perhatikan. Jangan sampai orang-orang di sekelilingnya batasi informasi.
Di ekonomi, informasi yang asimetris bisa ciptakan inefisiensi, biaya tinggi dan pemasok atau konsumen potensial rugi.
Sedang di pemerintahan, yang kelola anggaran ribuan triliun rupiah, informasi asimetris bisa lebih jauh fatal. Terjadi jarak pemahaman antara Pemerintah dengan masyarakat yang pada ujungnya rugikan masyarakat.
Masyarakat kehilangan peluang terhadap dampak suatu program pembangunan. Atau Pemerintah kehilangan
sense of crisis.
Gejala informasi asimetris atau bahkan misinformasi terlihat ketika Presiden menyatakan keracunan massal yang terjadi hanya 0,00017 persen saja (
Kompas.com
, 29/9).
Padahal, angkanya mencapai 0,000865 persen atau 8,65 insiden per 1 juta penyajian. Di mana

Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mencatat korban keracunan sebanyak 8.649 jiwa (
CNN Indonesia
, 29/9).
Angka yang dinyatakan Presiden lebih kecil lima kali daripada data terkini. Artinya lembaga terkait seperti Badan Gizi Nasional (BGN) telat melakukan pengkinian data.
Klaim 0,00017 persen itu sama dengan 1,7 insiden per 1 juta penyajian atau sebanyak 1.700 korban. Apakah kekeliruan itu disengaja atau tidak, Presiden perlu cek bawahannya.
Contoh informasi timpang di atas hanya mungkin diketahui dan dikoreksi karena informasi yang disediakan media massa.
Makin bebas pers dan informasi, masyarakat dapat berpartisipasi aktif dalam pembangunan. Umpan balik demi perbaikan dapat Pemerintah lakukan.
Sebaliknya, bagaimana bila pers dan informasi dibatasi? Bayangkan kapal tanpa radar. Ombak besar tak terlihat. Pers bebas adalah radar itu. Tanpa itu, kapal bisa karam di tengah badai. Itulah mengapa kebebasan pers penting bagi pembangunan.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.