Jakarta –
Hampir separuh orang dewasa di Korea Selatan buka-bukaan soal keinginannya untuk tidak mempunyai anak. Mereka percaya bahwa menjalani hidup tanpa anak adalah hal yang wajar.
Temuan tersebut mengungkapkan preferensi gaya hidup tanpa anak lebih umum di kalangan wanita. Khususnya, mereka yang berusia 20-an dan pekerja non-reguler dengan pekerjaan tidak stabil.
Laporan tersebut dipresentasikan di Forum Populasi, diadakan di Seoul pada hari Jumat (20/12/2024), yang diselenggarakan oleh Institut Kesehatan dan Sosial Korea (KIHASA). Acara tersebut berfokus pada tema ‘Hasil Persepsi Publik tentang Masyarakat Usia Kelahiran Rendah dan Menua: Berfokus pada Pernikahan, Persalinan, dan Nilai-Nilai Generasi’.
Dikutip dari The Korea Times, KIHASA mengumpulkan survei dari 4.000 pria dan wanita yang berusia 19 hingga 79 tahun di seluruh negeri, antara tanggal 3-6 Desember 2024.
Hasil Survei
Hasilnya menunjukkan lebih dari separuh, atau 53,6 persen responden, mengatakan mereka tidak keberatan untuk tidak memiliki anak. Sementara hanya 30,2 persen yang mengatakan memiliki anak lebih baik daripada tidak memiliki anak.
Sisanya, sekitar 10,3 persen mengatakan mereka harus punya anak.
Jumlah perempuan yang menjawab tidak keberatan hidup tanpa anak adalah 63,5 persen. Angka tersebut lebih tinggi dari 41,2 persen laki-laki.
Secara keseluruhan, sikap negatif terhadap persalinan ditemukan lebih umum di kalangan perempuan berusia 20-an, dan kelompok berpenghasilan rendah. Bahkan, jika mereka memiliki pasangan, 69,3 persen merasa negatif tentang rencana kelahiran tambahan.
Di antara pasangan tersebut, sekitar 36,2 persen dari mereka tidak memiliki anak. Hanya 19,2 persen yang mengatakan akan melahirkan, sementara 11,5 persen mengatakan tidak tahu.
Alasan Warga Korea Tak Ada Rencana Punya Anak
Ada beberapa alasan yang membuat warga Korea tidak ingin mempunyai anak, yakni:
Faktor usia sebesar 20,5 persen.Biaya perawatan anak sebesar 18,2 persen.Kondisi ekonomi sebesar 16 persen.Merasa tidak percaya diri untuk menjadi orang tua sebesar 10,3 persen.
“Kondisi ekonomi seperti pekerjaan, biaya perumahan dan tunjangan anak berdampak negatif pada pernikahan dan persalinan,” kata Kim Eun-jung, seorang peneliti asosiasi di KIHASA.
“Penting untuk menciptakan lapangan kerja yang baik, menstabilkan biaya perumahan dan meringankan beban biaya tunjangan anak seperti biaya pendidikan swasta,” tuturnya.
(sao/naf)