Jakarta –
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI menyoroti dampak psikologis serius di balik temuan Densus 88 Antiteror Polri mengenai terduga pelaku ledakan di SMAN 72 Jakarta yang disebut kerap mengakses situs-situs gelap (dark web) berisi konten kekerasan ekstrem.
Detasemen Khusus 88 sebelumnya mengungkap pelaku remaja aktif mengunjungi forum daring dan komunitas di dark web yang menampilkan video atau foto-foto perang, pembunuhan, hingga kejadian brutal lain.
Direktur Pelayanan Kesehatan Kelompok Rentan Kemenkes RI, dr Imran Pambudi, MPHM menegaskan paparan terhadap konten kekerasan, apalagi sejak usia anak, bisa memicu perubahan persepsi dan perilaku yang tidak disadari.
“Konten-konten seperti itu bisa membuat alam bawah sadar anak ter-brainwash. Kalau sering menonton kekerasan, lama-lama terbentuk persepsi bahwa kekerasan itu wajar. Misalnya, saat anak melihat orang yang tidak disukai, respons yang muncul bisa ekstrem, karena otaknya sudah terbiasa dengan konsep itu,” jelas Imran, Rabu (12/11).
Menurut Kemenkes, dampak paparan konten kekerasan tidak hanya bersifat jangka pendek, tetapi dapat memengaruhi pembentukan karakter dan empati anak dalam jangka panjang.
Paparan terus-menerus terhadap kekerasan dapat mengubah cara otak merespons emosi, membuat anak menjadi lebih agresif, tumpul terhadap empati, dan sulit membedakan realitas dengan fantasi kekerasan yang dilihatnya di dunia maya.
“Kalau kebiasaan ini dibiarkan sejak dini, risiko anak menganggap kekerasan sebagai cara menyelesaikan masalah menjadi tinggi. Itu yang paling berbahaya,” lanjutnya.
Kemenkes menilai pengawasan aktivitas digital anak menjadi tantangan besar di rumah tangga modern, terutama karena sebagian besar anak memiliki akses bebas ke internet melalui ponsel pribadi.
“Kalau di rumah memang sulit untuk mengawasi terus-menerus, tapi setidaknya orang tua bisa memanfaatkan fitur child protection atau pengawasan anak di perangkat. Fitur itu sebenarnya sudah tersedia, hanya sering tidak digunakan,” lanjutnya.
Hal yang juga menjadi persoalan utama adalah minimnya literasi parenting para orang tua.
“Banyak orang tua, tanpa memandang status ekonomi, belum memiliki literasi digital yang baik. Padahal, mereka yang paling berperan bisa memitigasi,” katanya.
“Kesehatan mental anak adalah tanggung jawab bersama. Pemerintah perlu memastikan regulasi ditegakkan, anak tidak ada lagi kemampuan untuk akses web berbahaya, sekolah perlu memperkuat pendidikan karakter dan literasi digital, sementara keluarga harus aktif membangun komunikasi dengan anak,” tegasnya.
(naf/up)
