Jember (beritajatim.com) – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya mengajukan penangguhan penahanan terhadap F, salah satu aktivis pengunjuk rasa, yang sedang ditahan Kepolisian Resor Jember, Jawa Timur, Senin (6/10/2025).
F ditangkap polisi dan dikenai pasal 160 KUHP terkait pemghasutan. “Dia diduga menghasut teman-teman yang melakukan perusakan,” kata Fahmi Ardiyanto, pengacara dari LBH Surabaya, saat ditemui menjelang berangkat ke Markas Polres Jember.
“Cuma kalau dilihat dari profiling Mas F, peran Mas F hanya sebagai paramedis. Perannya di situ sifatnya di belakang dan tugasnya membantu teman-teman yang pada saat aksi menjadi korban represi aparat,” kata Fahmi.
Hal ini yang membuat Fahmi kurang yakin F melakukan tindakan pidana yang dituduhkan polisi. “Itu juga dibantah langsung F oleh saat pemeriksaan,” katanya.
LBH Surabaya menilai penangkapan F di rumahnya tidak prosedural. “Dalam proses penetapan tersangka, polisi tidak pernah memanggil F sebagai calon tersangka. Kalau kita lihat di putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21 Tahun 2014, ketika penmyidik mau menetapkan seseorang menjadi tersangka, tentu harus dilengkapi bukti permulaan disertai dengan pemeriksaan sebagai calon tersangka,” kata Fahmi.
LBH Surabaya mengajukan penangguhan penahanan, karena F berstatus tulang punggung keluarga. “Dia anak tunggal. Bapaknya ada di luar kota, dan dia tinggal sendirian bersama ibunya yang sudah tua. Penangguhan ini lebih urgen karena tidak membutuhkan proses panjang,” kata Fahmi.
Fahmi berharap status F bisa diubah dari tahanan rutan menjadi tahanan kota atau tahanan rumah. “Berkaitan dengan proses praperadilan, kami yang tergabung dalam Koalisi Advokasi terhadap Demokrasi masih menggodok, masih mendiskusikan apakah akan melakukannya atau tidak,” katanya.
Menurut data yang dilansir Kepolisian Daerah Jawa Timur, 18 September 2025, polisi menahan tujuh orang yang merusak dan membakar tenda pos pantau milik Satuan Lalu Lintas Polres Jember, 30 Agustus 2025.
Sebelumnya selain F, ada tiga tersangka lain yang mengajukan penangguhan penahanan. “Sejauh ini LBH Surabaya dan teman-teman Koalisi dipercayakan menerima kuasa dari tiga orang sebelumnya, yakni Mas R, AF, dan Y. Sudah kami ajukan penangguhan penahanan,” kata Fahmi.
“Kalau sisanya, kami belum mendapatkan identifikasi siapa saja yang ditangkap dan kami bukan kuasa hukum mereka. Jadi kami tidak mengajukan penangguhan penahanan atas nama mereka,” kata Fahmi.
Fahmi memahami bahwa penangguhan penahanan tergantung dari subyektivitas penyidik. “Tapi meskipun itu subyektivitas penyidik, tetap harus dengan alasan dan landasan yang jelas, kenapa permohonan itu tidak diterima,” katanya.
Fahmi berharap penangguhan penahanan ini diterima, karena bukan hanya keluarga yang jadi penjamin.
“Kami juga mendorong tokoh-tokoh lokal dan nasional untuk menjadi penjamin bahwa orang yang ditahan itu tidak akan melarikan diri, tidak akan mengulangi tindak pidananya, dan tidak akan menghilangkan barang bukti, serta kooperatif bila ada pemeriksaan di tingkat kepolisian dan kejaksaan,” kata Fahmi.
Selain itu, menurut Fahmi, LBH Surabaya mendorong kepolisian untuk menghentikan perburuan aktivis demokrasi. “Jadi tidak semestinya teman-teman yang menyuarakan hak berpendapat mendapat represi dari kepolisian,” katanya. [wir]
