KPPOD Soroti Nasib Desentralisasi Fiskal di Era Prabowo

KPPOD Soroti Nasib Desentralisasi Fiskal di Era Prabowo

Bisnis.com, JAKARTA — Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Deaerah (KPPOD) menilai mandatory spending untuk program pemerintah pusat semakin meluas bahkan di dalam penyusunan APBD 2026. Kondisi ini memunculkan pertanyaan besar mengenai masa depan desentralisasi fiskal.

Direktur Eksekutif KPPOD Herman Suparman menyoroti kelemahan pemerintah daerah (pemda) dalam meningkatkan penerimaan asli daerah (PAD) atau local taxing power. 

Pada waktu yang sama, alokasi belanja wajib atau mandatory spending oleh pemerintah pusat semakin meluas baik dari implementasi Undang-Undang tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (HKPD) serta peraturan turunannya. 

“Misalnya kalau melihat Permendagri soal pedoman penyusunan APBD 2026, mandatory spending terutama untuk mendukung program-program pemerintah pusat nampak sekali di sana,” ujar Herman dikutip dari siaran daring di YouTube KPPOD, Rabu (17/12/2025). 

Kemudian, Herman turut menyoroti soal mismanagement pengelolaan belanja daerah. Hal ini berkaitan dengan polemik besarnya simpanan pemda di perbankan yang dinilai sebenarnya adalah isu struktural setiap tahun.

Adapun sejak 2025, terang Herman, semakin terkikisnya kemampuan pemda terlihat dari penerapan Instruksi Presiden (Inpres) No.1/2025.

Inpres terkait dengan efisiensi APBN dan APBD itu turut menyasar anggaran transfer ke daerah (TKD) tahun ini yang dipotong senilai Rp50,59 triliun dari pagu anggaran Rp919 triliun. 

Pemangkasan ini pun berlanjut pada APBN 2026 ketika TKD turun hingga sekitar 24% dari pagu 2025 ke hanya Rp693 triliun. Herman menggarisbawahi utamanya pemangkasan secara signifikan atas dana bagi hasil (DBH).  

Padahal, lanjutnya, DBH bertujuan untuk menjaga keseimbangan fiskal pusat dan daerah. Ini pun dinilai tidak sesuai dengan UU HKPD dan bisa memengaruhi kapasitas fiskal daerah. 

“Karena kapasitas fiskal itu dihitung berdasarkan penjumlahan PAD dengan dana bagi hasil,” terang Herman.

Untuk itu, Herman menilai pemangkasan TKD justru inkonsisten dengan Peraturan Presiden (Perpres) No.12/2024 tentang RPJMN yang merupakan terjemahan dari visi misi Presiden Prabowo Subianto yakni Asta Cita. Salah satunya yakni tentang komitmen pemerintah untuk penguatan desentralisasi fiskal serta otonomi daerah. 

“Pemangkasan ini sudah tidak sejalan dengan semangat Asta Cita,” pungkasnya. 

Alasan Efisiensi 

Sementara itu, sebelumnya Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa mengungkap alasan sebenarnya di balik keputusan Presiden Prabowo untuk memotong anggaran TKD besar-besaran. 

Hal itu dilakukan kendati pemerintah pusat mengklaim manfaat anggaran ke daerah tetap dirasakan melalui anggaran program prioritas seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) hingga Koperasi Desa Merah Putih (KDMP).

“Beliau agak kecewa dengan belanja daerah yang diselewengkan. Kalau sekarang saya menghadap Presiden untuk menaikkan [anggaran TKD], pasti enggak dikasih,” ujarnya kepada kader Golkar yang menduduki jabatan di DPR hingga DPRD, Hotel Bidakara, Jakarta, dikutip Minggu (14/12/2025).

Untuk itu, dia meminta kepada pemerintah daerah (pemda) untuk memperbaiki tata kelola di daerah khususnya penyerapan anggaran mulai dari kuartal IV/2025. 

Apabila kondisi ekonomi membaik, di mana diyakini Purbaya terjadi pada kuartal II/2026, maka dia membuka peluang untuk menghadap Presiden.  Purbaya memberi waktu pemda untuk bisa menunjukkan perbaikan tata kelola dan belanja daerah sampai dengan kuartal II/2026. 

Apabila pemda berhasil, dia akan mengajukan ke Prabowo untuk menaikkan anggaran TKD. 

“Doain supaya saya berhasil, triwulan kedua saya bisa ngomong [ke Presiden] sehingga triwulan ketiga dan keempat anggaran Anda bisa berubah. Tanpa penaikan ekonomi dan belanja, hampir pasti ditolak. Jadi, teman-teman daerah di DPRD tolong awasi pemdanya dan bantu saya untuk bantu anda semua,” paparnya.