Jakarta –
Korea Selatan tengah diterpa masalah terkait hak asasi manusia selama beberapa dekade. Hasil dari penyelidikan menemukan adanya kasus adopsi anak dan bayi ilegal ke luar negeri.
Dari penyelidikan, ditemukan bahwa pemerintah telah ‘mengirim’ sedikitnya 170 ribu anak dan bayi ke luar negeri. Hal ini disebut terjadi karena kurangnya pengawasan dari pemerintah.
Tim penyelidik menemukan contoh-contoh penipuan, pemalsuan catatan, hingga pemaksaan.
Sejak tahun 1950-an, anak-anak dari Korea Selatan diadopsi ke luar negeri. Sebagian besar dikirim ke negara-negara Barat.
Hal tersebut membuat Korea Selatan bergerak untuk memperketat proses adopsi. Tetapi, beberapa anak angkat dan orang tua kandung mereka mengatakan masih dihantui dengan apa yang mereka alami.
Seorang wanita berbicara pada BBC. Ia mengklaim bahwa dirinya tidak dirawat dengan baik oleh orang tua angkatnya.
“Ini adalah bagian yang memalukan dari sejarah kita,” kata Park Sun-young, ketua komisi dalam jumpa pers.
“Meskipun banyak anak angkat yang beruntung tumbuh dalam keluarga yang penuh kasih, yang lain mengalami kesulitan dan trauma besar karena proses adopsi yang cacat. Bahkan hingga saat ini, banyak yang terus menghadapi tantangan,” sambungnya.
Laporan tersebut dirilis pada Rabu (26/3/2025) oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang independen, setelah penyelidikan yang dimulai pada 2022.
Sekitar 367 anak angkat yang dikirim ke luar negeri telah mengajukan petisi yang menuduh adanya praktik penipuan dalam proses adopsi mereka. 100 petisi telah dianalisis, dan 56 di antaranya diakui sebagai korban pelanggaran hak asasi manusia.
Komisi tersebut masih menyelidiki kasus-kasus lain, dengan penyelidikan yang akan berakhir pada Mei.
Pemerintah Korea Selatan kemudian memulai program adopsi transnasional yang ditangani oleh lembaga swasta, yang diberi kewenangan signifikan melalui undang-undang adopsi khusus. Tetapi, banyak kelalaian dan tidak adanya peraturan tetap dari pemerintah.
“Memfasilitasi adopsi antarnegara dalam skala besar dengan pengawasan prosedural yang minimal,” tulis laporan tersebut.
“Tanpa adanya peraturan pemerintah tentang biaya, lembaga-lembaga Korea mengenakan biaya dalam jumlah besar dan menuntut ‘sumbangan, yang mengubah adopsi menjadi ‘industri yang berorientasi pada laba’,” menurut laporan.
Kelalaian lainnya termasuk adopsi yang dilakukan tanpa persetujuan dari ibu kandung dan penyisiran yang tidak memadai terhadap orang tua angkat. Banyak anak angka memiliki identitas palsu.
“Karena banyak anak angkat memiliki identitas palsu yang tercantum dalam dokumen, mereka sekarang berjuang untuk mendapatkan informasi tentang keluarga kandung mereka dan dibiarkan dengan perlindungan hukum yang tidak memadai,” laporan tersebut mencatat.
Inger-Tone Ueland Shin (60) adalah salah satu pemohon yang kasusnya diselidiki oleh komisi tersebut. Ia diadopsi oleh pasangan Norwegia saat usia 13 tahun, dan kemudian diketahui bahwa proses adopsi yang dilakukannya ilegal.
Pasangan itu, yang saat itu berusia 50-an tahun, awalnya mengajukan permohonan adopsi, tetapi ditolak oleh otoritas Norwegia karena mereka terlalu tua.
Mereka kemudian pergi ke Korea Selatan dan mengunjungi panti asuhan, di mana mereka memilih Inger-Tone dan membawanya ke Norwegia.
Pasangan itu baru mengajukan permohonan adopsi kepada otoritas Norwegia beberapa tahun kemudian. Pihak berwenang menyetujuinya, meskipun mengakui ilegalitas situasi Inger-Tone, karena mereka memutuskan bahwa saat itu dia ‘tidak memiliki hubungan dengan Korea lagi’.
Inger-Tone mengatakan kepada BBC bahwa dia mengalami kesulitan besar untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan di Norwegia. Bahkan, ia juga menuduh ayah angkatnya melakukan pelecehan seksual terhadapnya.
“Mereka merawat anjing itu lebih baik daripada yang pernah mereka lakukan terhadap saya,” katanya.
“Itu sangat menyakitkan. Saya tidak dapat berbicara atau mengekspresikan diri, selain menangis di malam hari,” pungkas Inger-Tone.
(sao/kna)