Cause sometimes I look in her eyes
And that’s where I find a glimpse of us And I try to fall for her touch
But I’m thinking of the way it was
Said I’m fine and said I moved on
I’m only here passing time in her arms
Hoping I’ll find
A glimpse of us
Korus lagu solois Joji dengan judul “Glimpse of Us” terdengar kencang dari dalam kamar Budi yang berada di ujung lorong kost-kostan. Hampir setiap hari. Budi, oh Budi. Hatinya diamuk rindu.
Budi kawan saya yang sesungguhnya periang penuh canda dan cerita. Akhir-akhir ini raut wajahnya membuat saya yakin bahwa istilah “Jakarta Keras” memang benar adanya. Karena di balik kemegahan Ibu Kota memang selalu ada manusia-manusia yang bergumam sebelum jam tidur di atas kasur.
“Kenapa aku ada di sini?”,
“Aku yakin besok akan baik-baik saja”, atau
“Ada kejutan apa lagi besok dari kehidupan?”
Begitulah Budi, hatinya sedang kacau. Sifatnya mendadak berubah, sedikit temperamental.
Katanya, semenjak rindu menjadi bahasa paling sunyi, ia tak banyak berkata- kata. Pergi dari keramaian, menyusuri diam.
Setiap tempat yang dilalui hanya mengingatkan Budi pada sumber kerinduan. Kenangan terus berkecamuk menggerogoti dirinya dari dalam, sendirian.
Budi memang tengah hilang pengharapan. Di pinggiran kota Jakarta, setengah semangatnya tertinggal di persimpangan.
Semacam napak tilas, Budi mengajakku menyusuri tempat yang pernah ia singgahi bersama sumber rindunya. Ia menunjukan beberapa titik yang mengingatkannya pada masa lalu dan membandingkannya dengan realita hari ini.
Dalam teknik fotografi, kami menyebutnya diptik (diptych).
Tercetuslah keinginanku untuk merangkum kisah Budi dalam Kolong Kota kali ini. Ia mengamini dan meraih album polaroid yang tersimpan rapi dalam lacinya.
Kumpulan foto ini merupakan kisah masa lalu yang bertemu dengan Budi di hari ini. Tempat yang sama, dengan hati yang berbeda.
