Kolom Agama KTP Kembali Digugat ke MK, Usai Dianggap Mengancam Nyawa
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Polemik identitas keagamaan dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) kembali bergulir di Mahkamah Konstitusi (MK).
Kali ini, pemohon datang dari dua orang penyintas konflik SARA yang terjadi di Poso, Sulawesi Tengah pada 2000 silam, yakni Taufik Umar dan Timbul G. Simarmata.
Mereka berdua mendalilkan peristiwa yang pernah mereka alami untuk meminta MK menghapus kolom agama dalam KTP.
Kuasa hukum para pemohon, Teguh Sugiharto mengatakan, dalil utama gugatan uji materi Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan ini adalah peristiwa
sweeping
KTP yang pernah terjadi saat kerusuhan di Poso.
Konflik agama di Poso yang saat itu terjadi antara pemeluk agama Islam dan Kristen menyebabkan ancaman nyawa serius, terutama saat aksi sweeping berlangsung.
“Oleh karena itu, saudara pemohon untuk mengajukan peninjauan, yaitu agar pasal yang dimaksud (Pasal 61 dan 64 UU Administrasi Kependudukan) dinyatakan sebagai pertentangan secara bersyarat, yaitu sepanjang kolom agama dianggap tidak ada,” kata Teguh dalam sidang perkara 155/PUU-XXIII/2025 yang digelar Rabu (3/9/2025).
Dalam dalilnya, pemohon menyebut pernah beberapa kali menemukan aksi sweeping yang terjadi saat melakukan perjalanan dari Poso ke Kota Palu.
Sweeping yang dilakukan spesifik meminta bukti KTP orang-orang yang melintas.
Beruntung saat itu pemohon Taufik hanya mendapat sweeping dari kelompok agama yang sama dengan yang ia peluk, sehingga lolos dari ancaman kekerasan.
Selain dari pengalaman pribadi, para pemohon juga mendalilkan posita mereka dengan buku yang ditulis mantan Kapolri Jenderal Polisi (Purn) Tito Karnavian.
Berdasarkan penelusuran
Kompas.com
dalam dokumen permohonan, yang dimaksud buku tulisan Tito Karnavian tersebut berjudul
Indonesia Top Secret: Membongkar Konflik Poso Operasi Investigasi dan Penindakan Pelaku Kekerasan di Sulawesi Tengah
yang diterbitkan Gramedia Pustaka Utama pada 2008.
Dalam halaman 59, disebutkan ada aksi sweeping kepada dua orang beragama Kristen yang terkena sweeping KTP, kemudian mereka dibunuh karena adanya keterangan kolom agama di identitas mereka.
Pada halaman 61 juga disebutkan secara detail, pada 19 Mei 2000, massa Kristen yang ada di Taripa melakukan sweeping terhadap mobil yang melintas di kawasan itu.
Peristiwanya sama yakni pembunuhan dan kekerasan, meskipun tidak ada jumlah korban tewas yang disebutkan dalam buku tersebut.
Pada halaman 140 tertulis “Menjelang Maghrib, sebuah mobil dihentikan dan setelah diperiksa KTP dan diinterview penumpangnya ternyata Pendeta Tentena bernama Oranye Tadjoja dan keponakannya Yohanes Tadjoja. Keduanya bermaksud ke desa Tangkura untuk melakukan Misa. Kedua korban langsung diseret keluar mobil dan dikeroyok hingga meninggal dunia.”
Pemohon menyebut, fakta yang sangat penting diungkap dalam buku yang ditulis tersebut menyatakan secara eksplisit kolom agama di KTP menjadi pemicu langsung pembunuhan saat konflik di Poso.
“Oleh karena negara tidak bisa dipastikan menjamin keselamatan dalam situasi serupa yang mungkin terjadi lagi, oleh karena itu kami memohon agar tidak mengurangi risiko hilangnya hidup, tercabutnya hak hidup, dan juga penghinaan hanya karena dengan mudah mengidentifikasi agama kita,” kata kuasa hukum pemohon.
Perkara serupa, yakni terkait kolom agama di identitas kependudukan pernah diputus MK dua kali.
Pada 2017 lalu, MK pernah memutuskan penghayat kepercayaan boleh dicantumkan dalam kolom agama di KTP dan Kartu Keluarga.
Dalam putusan 97/PUU-XIV/2016, MK berpendapat perbedaan pengaturan antarwarga negara dalam hal pencantuman elemen data penduduk tidak didasarkan pada alasan konstitusional.
Tetapi lebih pada tertib administrasi dan mengakomodasi jumlah penghayat kepercayaan dalam masyarakat Indonesia yang sangat banyak dan beragam.
“Pencantuman elemen data kependudukan tentang agama bagi penghayat kepercayaan hanya dengan mencatatkan yang bersangkutan sebagai ‘penghayat kepercayaan’ tanpa merinci kepercayaan yang dianut di KK ataupun KTP-el, begitu juga dengan penganut agama lain,” kata Hakim MK Saldi Isra, Selasa (7/11/2017).
Dalam gugatan lainnya, MK secara tegas menolak penghapusan kolom agama dalam pencatatan kependudukan dalam putusan 146/PUU-XXII/2024.
Dalam pertimbangan hukumnya, MK menyebut pembatasan kebebasan bagi warga negara Indonesia, di mana setiap warga negara harus menyatakan memeluk agama atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa merupakan keniscayaan sebagaimana diharapkan oleh Pancasila dan diamanatkan oleh Konstitusi.
“Pembatasan yang demikian merupakan pembatasan yang proporsional dan tidak diterapkan secara opresif dan sewenang-wenang,” ujar Hakim Konstitusi Arief Hidayat, Jumat (3/1/2025).
Arief mengatakan, setiap warga negara hanya diwajibkan menyebut agama dan kepercayaannya untuk kemudian dicatat dan dibubuhkan dalam data kependudukan tanpa adanya kewajiban hukum lain yang dibebankan oleh negara dalam kaitannya dengan agama atau kepercayaan yang dipilih, selain kewajiban untuk menghormati pembatasan sebagaimana dinyatakan dalam UUD NRI Tahun 1945.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Kolom Agama KTP Kembali Digugat ke MK, Usai Dianggap Mengancam Nyawa Nasional 4 September 2025
/data/photo/2023/07/06/64a6479ae1e61.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)