Kisruh UU Pilkada, Pakar Hukum Tata Negara: DPR Lakukan Pembangkangan Konstitusi

Kisruh UU Pilkada, Pakar Hukum Tata Negara: DPR Lakukan Pembangkangan Konstitusi

Surabaya (beritajatim.com) – Dosen Hukum Tata Negara FH (Fakultas Hukum) Universitas Surabaya (Ubaya) Prof.Dr.Hesti Armiwulan S.,S.H.,M.Hum, menilai bahwa DPR yang menganulir putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang pencalonan kepala daerah adalah bentuk pembangkangan konstitusi.

Sebagai dosen hukum tata negara, Prof Dr Hesti menilai bahwa MK adalah lembaga negara yang kedudukan dan kewenangannya diatur oleh Undang Undang Dasar (UUD). MK mempunyai kewenangan salah satunya adalah menguji undang undang terhadap UUD.

Itu artinya MK adalah sebagai pengawal dari UUD. Jadi Putusan MK itu sejatinya adalah penegasan UUD RI tahun 1945 sebagai hukum yang tertinggi.

Seluruh komponen penyelenggara negara, kata Prof Dr Hesti, harus tunduk pada putusan MK, karena sifatnya adalah menjadi peradilan tingkat pertama dan terakhir dan bersifat final.

“Artinya DPR sebagai pembentuk UU, juga harus tunduk dan melaksanakan Putusan MK, bukan malah menafsirkan yang berbeda dengan putusan MK. Tapi apa yang terjadi? DPR itu seolah olah ingin menunjukkan bahwa kekuasaan dia itu melebihi konstitusi sehingga dia menganulir Putusan MK melalui cara mengubah Undang-Undang pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota,” ujarnya, Kamis (22/8/2024).

Dalam aspek hukum atau yang dikenal dengan rule of law. Apa yang dilakukan anggota DPR ini bukan merupakan prinsip negara hukum, tapi menjadikan hukum itu sebagai alat kekuasaan.

“Jadi mengubah UU pemilihan gubernur, bupati/walikota yang tidak sesuai dengan Putusan MK jelas meligitimasi kehendak dari kekuasaan bukan prinsip negara hukum yang demokratis,” katanya.

“Dengan DPR merubah UU pemilihan gubernur, walikota, bupati dan tidak melaksanakan putusan MK sesungguhnya DPR itu telah melakukan pembangkangan terhadap konstitusi yang dalam bahasa hukum kita sebut inkonstitusionalisme (Melanggar konstitusi),” tambahnya.

Prof Dr Hesti mengatakan, masyarakat harus mengetahui bahwa MK membuat dua putusan, putusan pertama no 60/ PUU tahun 2024 dan Putusan MK no 70/PUU tahun 2024.

Harusnya, kata Hesti, berdasarkan putusan MK itu, pencalonan gubernur, bupati dan walikota itu tidak hanya diberikan kepada partai politik yang memiliki kursi 20 % di DPRD melainkan disamakan dengan pencalonan dari perseorangan.

Yang maknanya, Parpol yang tidak mempunyai kursi di DPRD namun memiliki suara sah saat Pemilu dapat mengusulkan calon Gubernur, Bupati/Walikota. Putusan no 70 berkaitan dengan usia minimal calon Gubernur dan wakil Gubernur.

Kalau di putusan MA, mengubah peraturan KPU. Peraturan KPU itu dasar hukum pembentukannya adalah UU Pemilihan gubernur, walikota dan bupati sesuai pasal 7 ayat 2 huruf e menentukan syarat sebagai calon gubernur dan wakil gubernur mininal adalah 30 tahun.

Oleh KPU pasal 7 ayat 2 e tersebut ditegaskan lagi melalui Peraturan KPU yang dimaksud dengan minimal 30 tahun itu sejak penetapan calon oleh KPU. Per KPU oleh MA diubah bahwa yang dimaksud dengan minimal 30 tahun itu setelah pelantikan.

“Kalau setelah pelantikan, namanya bukan calon, tapi sudah menjadi Gubernur/Wakil Gubernur terpilih,” ujarnya .

MA mempunyai kewenangan untuk menguji peraturan perundangan di bawah undang undang, dalam hal ini PP dan seterunya termasuk per KPU. Posisi per KPU dibawah undang undang. Dan yang diubah MA adalah per KPU tapi undang undangnya tetap sebagaiman ditentukan dalam Pasal 7 ayat (2) huruf e. Padahal peraturan KPU itu merujuk pada Undang undang.

Melalui Putusan MK no.70 ketentuan Pasal 7 ayat (2) e dipertegas oleh MK. Nah, mana yang lebih tinggi, bukan melihat MK dan MA sama-sama sebagai peradilan tertinggi, tapi dilihat dari kewenangan pengujian peraturan perundangan.

Kalau MA itu, lanjut Hesti, menguji peraturan perundang-undangan dibawah UU, kalau MK itu menguji undang undang terhadap UUD. “Dari situ saja sudah kelihatan, bahwa posisinya lebih tinggi MK karena MK menguji undang undang terhadap UUD. Mana yang harus diikuti? Ya sudah jelas putusan MK ini yang final dan mengikat. Putusan MK inilah yang harus dilaksanakan oleh KPU,” ujarnya.

Sikap presiden dalam hal ini juga inkonsisten, ketika putusan MK ini menguntungkan pihaknya maka dengan lantang dan serta merta mereka mengatakan bahwa putusan MK itu final dan mengikat dan harus dihormati dan dipatuhi karena itu prinsip hukum.

Ketika putusan MK tersebut tidak menguntungkan mereka tapi mereka berusaha menganulir. Nah itu dikatakan bahwa mereka tidak konsisten. Bukan keputusan yang diputuskan oleh para negarawan tapi ini adalah putusan yang berdasarkan kepentingan politik sesaat.

Maka menurut Prof Dr Hesti, saatnya masyarakat mengetahui bahwa dalam situasi seperti ini bukan tarik menarik kepentingan politik, karena situasi seperti ini membahayakan eksistensi kehidupan bernegara yang berdasarkan konstitusi.

“Jadi masyarakat itu harus diberikan kesadaran bahwa kita ini bukan alat kekuasaan, karena rakyat itu sebagai pemegang kedaulatan tertinggi kita harus melakukan satu action bersama yaitu menolak tentang keberadaan undang undang yang tidak melaksanakan Putusan MK,” urainya.

“Kalau DPR tetap egois, undang undang yang dibentuk DPR itu akan menjadi tidak efektif kalau KPU sebagai penyelenggara pemilu tetap tunduk dan patuh pada putusan MK,” lanjutnya.

Jadi menurut Hesti kuncinya adalah di penyelenggara pemilihan gubernur, bupati dan walikota. Kalau KPU berdasarkan kehendak DPR maka KPU melakukan pembangkangan terhadap konstitusi. Apakah KPU, DKPP maupun Bawaslu bisa melaksanakan amanah konstitusi.

Kalau DPR tetap mengesahkan undang undang yang tidak sesuai dengan syarat formil dan matreiil maka pihaknya juga tidak akan tinggal diam. Yakni, akan mengajukan permohonan ke MK untuk membatalkan undang-undang tersebut. “Ini bisa dikatakan momen reformasi jilid 2,” tutupnya. [uci/suf]