Jakarta –
Seorang perempuan berusia 31 tahun yang tidak disebutkan namanya di Inggris dibawa ke rumah sakit karena memiliki penyakit yang membuatnya tertawa tak terkendali, bahkan ketika ia tidak merasa senang. Pasien tersebut mengaku mengalami kondisi itu sejak bayi, tapi kondisinya tidak pernah didiagnosis secara resmi.
Gejala yang dirasakan sebelum episode tertawa muncul, ia akan merasakan takut dan perasaan tidak nyaman di area leher dan dada. Ketika fase tertawa itu datang, ia tidak bisa berbicara, menelan, hingga kesulitan bernapas.
Dikutip dari Live Science, setiap episode biasanya berlangsung selama beberapa detik dan satu kali sehari. Kejadian ini umumnya terjadi ketika pasien baru bangun pagi.
“Saat ini, setiap episode berlangsung sekitar satu hingga dua detik, namun di masa lalu pernah berlangsung hingga 2-3 menit,” tulis peneliti dari National Hospital of Neurology and Neurosurgery dalam jurnal Epilepsy & Behavior Case Reports.
“Saat masih anak-anak, orang tuanya kerap memintanya untuk menghentikan kebiasaan tersebut karena mereka menganggapnya sebagai perilaku yang disengaja, bukan suatu kondisi medis,” sambung mereka.
Pada pemeriksaan MRI dan elektroensefalografi (EEG) otak tidak menunjukkan kelainan. Namun, ketika dokter meninjau video episode tawa pasien tersebut, mereka menyebut itu mirip dengan kondisi kejang gelastik.
Kondisi tersebut memang dapat memicu tawa, cekikikan, atau senyum menyeringai tak terkendali. Kejang jenis ini umumnya bersifat fokal, yaitu disebabkan oleh aktivitas listrik abnormal di satu area tertentu otak.
Pada pemeriksaan MRI kedua, dokter menemukan area abnormal di hipotalamus, struktur penting yang berperan dalam menjaga keseimbangan fungsi tubuh. Kelainan berupa lesi tersebut berukuran sekitar 5 milimeter.
“Pemeriksaan MRI ulang mengungkap adanya area kecil berukuran 5 mm dengan sinyal abnormal di garis tengah, tepat di bagian posterosuperior terhadap tuber cinereum dan di atas mammillary bodies,” tambah dokter mendiagnosis kondisi tersebut sebagai hamartoma hipotalamus, lesi jinak non-kanker yang terbentuk selama perkembangan janin.
Kejang gelastik yang memicu ledakan tawa tak terkendali, ketika pengidapnya tetap sadar tetapi tidak mampu mengendalikan tindakannya, merupakan ciri khas dari kelainan ini. Namun, mekanisme pasti mengapa lesi tersebut memicu episode tawa masih belum sepenuhnya dipahami.
Dokter lantas memberinya obat anti-kejang yang umum digunakan untuk epilepsi, tapi tidak memberikan efek. Karena gejala episodenya sudah tidak tergolong berat, pasien memutuskan untuk tidak melanjutkan pengobatan dan hidup dengan kondisi tersebut.
Pasien juga tidak mengalami gangguan perilaku maupun kognitif lain, dan frekuensi serta tingkat keparahan serangan terus menurun seiring waktu. Oleh karena itu, dokter menyimpulkan bahwa terapi tambahan tidak diperlukan.
Halaman 2 dari 2
(avk/up)
