Bisnis.com, JAKARTA — Lambatnya adopsi teknologi 5G di Tanah Air disinyalir akibat jaringan yang digelar oleh operator seluler masih terbatas dan kurangnya dukungan spektrum frekuensi.
Laporan Counterpoint Research mencatat adopsi smartphone 5G di Indonesia masih berjalan lambat.
Pada kuartal III/2025, pengiriman perangkat 5G hanya mencapai 35% dari total pasar, stagnan dibandingkan kuartal sebelumnya. Meski begitu, angka tersebut hanya naik tipis 4% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Pengamat Telekomunikasi sekaligus Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute, Heru Sutadi menilai lambatnya pertumbuhan tersebut mencerminkan persoalan di sisi jaringan, bukan sekadar harga perangkat.
Menurut dia, vendor sebenarnya telah membuka akses melalui smartphone 5G di segmen entry-level dan menengah, namun adopsi tak beranjak karena infrastruktur belum bisa menunjang.
“Hambatan utama jelas terletak pada kesiapan jaringan yang masih minim di mana cakupan 5G baru 10% populasi per Oktober 2025, jauh di belakang Malaysia (80%),” kata Heru kepada Bisnis pada Rabu (26/11/2025).
Heru menjelaskan, keterbatasan spektrum frekuensi terutama pita 700 MHz yang belum dilelang sepenuhnya menjadi penyebab lambatnya pembangunan jaringan 5G.
Kondisi tersebut diperparah oleh infrastruktur yang belum merata serta tingginya biaya investasi, sehingga membuat konsumen ragu membeli perangkat 5G yang berisiko tidak terpakai, khususnya di wilayah pedesaan.
Heru juga menuturkan persoalan tak hanya soal jaringan, tetapi juga kesadaran masyarakat yang belum memahami manfaat nyata 5G. Menurutnya perangkat G masih memadai untuk kebutuhan sehari-hari seperti streaming dan sosial media.
“Kebijakan pemerintah yang kurang progresif, termasuk sosialisasi minim, memperlemah dorongan adopsi. Tanpa kolaborasi operator, pemerintah dan juga pengguna, penetrasi 5G akan terus tertatih, menghambat transformasi digital Indonesia menuju target 32% pada 2030,” lanjutnya.
Sejalan dengan itu, Ketua Umum Indonesian Digital Empowering Community (Idiec) Tesar Sandikapura menilai konsumen di Indonesia masih merasa cukup dengan smartphone 4G. Menurut dia, masyarakat membutuhkan alasan lebih kuat untuk beralih, bukan sekadar kecepatan internet semata.
“Perlu ada value added lain, misal bisa lebih hemat atau sinyal lebih stabil. Intinya, pemakai mesti dibuat yakin dahulu, apa manfaat mereka upgrade ke 5G,” kata Tesar.
Counterpoint sebelumnya menggambarkan dinamika pangsa pasar 5G yang bergerak fluktuatif dalam empat kuartal terakhir.
Pada kuartal IV/2024, pangsa perangkat 5G sempat turun ke 25% dari 31% pada kuartal III/2024. Pemulihan belum terjadi signifikan pada kuartal I/2025, yang hanya naik 1 poin persentase ke 26%.
Tren positif baru terlihat pada kuartal II/2025 ketika pangsa 5G kembali terdongkrak menjadi 35%, lalu bertahan pada level yang sama pada kuartal III/2025. Stabilnya pangsa tersebut terutama ditopang semakin banyaknya model perangkat 5G berharga terjangkau serta meningkatnya ketersediaan perangkat 5G di kelas menengah.
Secara keseluruhan, pasar smartphone Indonesia menunjukkan performa yang lebih kuat dibandingkan tahun sebelumnya. Counterpoint mencatat pengapalan smartphone tumbuh 12% secara tahunan pada kuartal III/2025.
Pemulihan tersebut didorong oleh stabilitas ekonomi nasional yang terbangun dari kebijakan moneter dan fiskal, pertumbuhan ekspor, serta meningkatnya permintaan domestik yang turut memperbaiki indeks kepercayaan konsumen.
Segmen entry-level menjadi penggerak utama pertumbuhan pasar ini. Pengiriman smartphone dengan harga di bawah US$150 (sekitar Rp2,49 juta) melonjak 42% dibandingkan tahun sebelumnya dan kini menguasai 55% pangsa pasar.
Sebaliknya, segmen menengah hingga premium masih tertekan. Pengapalan perangkat pada rentang US$150–349 (sekitar Rp2,49 juta–Rp5,81 juta) turun 10%, kelas US$350–699 (sekitar Rp5,83 juta–Rp11,64 juta) turun 11%, dan segmen premium di atas US$700 (lebih dari Rp11,66 juta) merosot 14% pada periode yang sama.
Dari sisi merek, Samsung kembali mendominasi pasar smartphone Indonesia pada kuartal III/2025 dengan pangsa 20%. Diikuti Xiaomi sebesar 17%, OPPO 16%, vivo 14%, serta Infinix 12% yang disebut paling agresif mencatat pertumbuhan hingga 45% secara tahunan.
