Jakarta, Beritasatu.com – Sidang isbat memiliki sejarah yang signifikan dalam kehidupan keagamaan dan sosial di Indonesia. Sidang ini diselenggarakan untuk menetapkan awal bulan dalam kalender Hijriah, khususnya yang berkaitan dengan ibadah penting umat Islam seperti Ramadhan (Ramadan), Idulfitri, dan Iduladha.
Tujuan utama dari sidang isbat adalah memberikan kepastian hukum dan keagamaan kepada masyarakat serta mengurangi perbedaan pendapat mengenai penetapan awal bulan. Dalam proses ini, kerja sama antara pemerintah dan ulama sangat diperlukan guna menciptakan kesatuan dan integrasi di tengah masyarakat.
Lantas, bagaimana sejarah awal mula sidang isbat ini? Dilansir dari laman resmi Kementerian Agama RI, berikut informasi lengkapnya!
Awal Mula Sidang Isbat
Sidang isbat pertama kali diadakan pada era 1950-an, meskipun beberapa sumber menyebutkan tahun 1962 sebagai awal mula pelaksanaannya. Dalam sidang tersebut, berbagai ulama dan ahli astronomi memaparkan pandangan mereka sebelum keputusan resmi diumumkan kepada masyarakat.
Sidang isbat untuk menentukan awal Ramadhan umumnya dilaksanakan pada tanggal 29 Syaban. Keberadaan sidang ini semakin diperkuat dengan adanya regulasi dari Kementerian Agama, sebagaimana tercantum dalam buku “Agenda Kementerian Agama 1950-1952,” yang membahas keputusan terkait hari-hari besar Islam.
Regulasi dan Penguatan Sidang Isbat
Pada masa kepemimpinan Menteri Agama KH Saifuddin Zuhri, dikeluarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 47 Tahun 1963 yang mengatur organisasi dan tata kerja Departemen Agama. Dalam regulasi tersebut, disebutkan bahwa salah satu tugas utama Departemen Agama adalah menetapkan tanggal hari-hari raya yang juga dijadikan hari libur nasional.
Dengan adanya regulasi ini, mekanisme penetapan awal bulan Ramadhan, Idulfitri, dan Iduladha semakin terstruktur dan dilembagakan melalui sidang isbat.
Pembentukan Badan Hisab dan Rukyat
Perkembangan lebih lanjut terjadi pada tahun 1970-an dengan dibentuknya Badan Hisab dan Rukyat (BHR) berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 76 Tahun 1972. Badan ini pertama kali dipimpin oleh Sa’adoeddin Djambek, seorang pakar ilmu falak dari Muhammadiyah.
Anggota BHR terdiri dari para ulama dan ahli yang berasal dari berbagai organisasi serta lembaga terkait. Menteri Agama saat itu, Prof H A Mukti Ali (1971-1978), menekankan tiga peran utama dari badan ini, yaitu menentukan hari-hari besar Islam dan hari libur nasional, menyatukan metode penetapan awal bulan Hijriah untuk ibadah umat Islam, serta menjaga persatuan umat dengan meminimalkan perbedaan dan konflik dalam perhitungan kalender Islam.
Metode Penetapan Awal Bulan Hijriyah
Penetapan awal bulan Kamariah di Indonesia mengacu pada kriteria wujudul hilal dan imkanur rukyat, yang mempertimbangkan ketinggian bulan sabit. Dua metode utama yang digunakan adalah rukyat (pengamatan langsung hilal) dan hisab (perhitungan astronomis).
Rukyat dilakukan dengan mengamati hilal menggunakan teleskop dan alat bantu lainnya, sementara hisab menggunakan perhitungan matematis untuk memprediksi posisi bulan.
Kedua metode ini sering digunakan secara bersamaan guna mencapai keputusan yang lebih akurat. Hasil dari sidang isbat diumumkan secara resmi oleh Kementerian Agama dan menjadi pedoman bagi umat Islam di seluruh Indonesia dalam menjalankan ibadah mereka.
Sidang isbat memiliki peran penting dalam menetapkan awal bulan dalam kalender Hijriyah di Indonesia. Dengan sejarah panjang yang melibatkan ulama, pemerintah, dan ahli astronomi, sidang ini menjadi instrumen utama dalam memberikan kepastian hukum dan keagamaan bagi umat Islam.