Kemenkeu Sebut Utang Pemerintah Rp 8.253 Triliun Masih Aman, Ekonom: Tidak Cukup Lihat dari Rasio terhadap PDB

1 March 2024, 8:12

TEMPO.CO, Jakarta – Kementerian Keuangan atau Kemenkeu menyebutkan utang pemerintah sebesar Rp 8.253 triliun per 31 Januari 2024 masih dalam rasio aman, karena berada di bawah ambang batas 60 persen dari produk domestik bruto atau PDB. Bagaimana pendapat ekonom?”Batas atas 60 persen dalam UU tentang Keuangan Negara mestinya tidak ditafsirkan sebagai batas aman kondisi utang, melainkan yang tidak boleh dilampaui,” kata ekonom Bright Institute, Awalil Rizky, kepada Tempo, Kamis, 29 Februari 2024.Seperti diketahui, total utang pemerintah per akhir Januari kemarin setara dengan 38,75 persen dari PDB. Sedangkan pada krisis ekonomi sebelumnya pada 1998, ujar Awalil, rasio utang pemerintah meningkat. Pada 1997 rasio utang tercatat 37,92 persen, sedangkan pada akhir 1998 mencapai 61,74 persen.”Rasio pada akhir 1997 bahkan lebih rendah dari akhir 2023 ini,” tutur Awalil.Indikator risiko utang pemerintah, kata dia, bukan hanya utang terhadap PDB. Tapi di antaranya adalah rasio utang terhadap pendapatan negara, rasio pembayaran bunga utang atas pendapatan negara, dan rasio pembayaran beban utang atas pendapatan negara. Ketiga indikator ini sempat digunakan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk mereviu kondisi Indonesia pada 2019-2020.Dia mencontohkan, rasio utang terhadap pendapatan negara pada 2023 adalah 293,26 persen. Ini berdasarkan posisi utang pada akhir tahun lalu yang sebesar Rp 8.145 triliun dan pendapatan negara Rp 2.774 triliun. “Rasio utang atas pendapatan negara telah jauh melampaui rekomendasi International Monetary Fund (IMF) dan International Debt Relief (IDR) untuk kondisi yang bisa dikatakan aman,” ucap Awalil. Awalil menjelaskan, IMF memberikan rekomendasi rasio utang terhadap pendapatan negara di kisaran 90-150 persen. Sedangkan rekomendasi IDR adalah di kisaran 92-167 persen.Hal senada diungkapkan oleh ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira. Menurut dia, seharusnya pemerintah tidak terjebak dengan rasio utang di bawah 60 persen.”Likuiditas domestik faktanya makin tergerus karena tersedot utang,” ucap Bhima kepada Tempo, Kamis.Dia menuturkan, pemerintah berncana menaikkan defisit anggaran pendapatan dan belanja negara atau APBN 2025. Dalam sidang kabinet pada Senin kemarin, defisit APBN 2025 direncanakan berada pada rentang 2,45-2,8 persen dari PDB.Sementara itu, pendapatan dari pajak dan PNBP pada tahun ini diperkirakan tumbuh lebih rendah dibanding kenaikan utang. PNBP jelas merosot, kata dia, sebab Indonesia terlalu bergantung pada swing harga komoditas. Misalnya, nikel yang oversupply sehingga harganya anjlok. Negara tujuan ekspor juga sedang melemah permintaannya. Iklan

Apalagi, menurut Bhima, belanja negara untuk proyek infrastruktur sangat agresif. Belum lagi beban BUMN Karya yang sebagian utangnya ditanggung negara.”Praktik utang ugal-ugalan tanpa solusi untuk rem utang bakal menghambat pertumbuhan ekonomi,” tutur Bhima.Sebelumnya diberitakan, Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu, Suminto, buka soal utang pemerintah yang mencapai Rp 8.253,09 triliun per akhir Januari 2024.”Risiko utang pemerintah terkendali,” kata Suminto, kepada Tempo, Rabu, 28 Februari 2024.Dia menjelaskan, rasio utang pemerintah per akhir Januari 2024 mengalami perbaikan dibandingkan beberapa tahun sebelumnya. Yakni, 39 persen dari PDB pada Desember 2023, 39,7 persen pada Desember 2022, 40,7 persen pada Desember 2021, dan 39,4 persen pada Desember 2020.Menurut Suminto, rasio utang terhadap PDB alias debt to GDP ratio sempat mengalami kenaikan cukup besar karena pembiayaan pandemi Covid-19. Pada 2019 lalu, rasio utang terhadap PDB adalah 30,2 persen. Rasio ini juga meningkat pada 2020 hingga 2021.”Meskipun begitu, dibandingkan banyak negara emerging markets, debt to GDP Indonesia tergolong terendah,” ucap Suminto.Dia mencontohkan, debt to GDP ratio pada 2022 Malaysia adalah 60,4 persen, Filipina sebesar 60,9 persen, Thailand sebesar 60,4 persen, Vietnam sebesar 37,1 persen, India sebesar 89,26 persen, Argentina sebesar 85 persen, Brazil sebesar 72,87 persen, Mexico sebesar 49,6 persen, dan Afrika Selatan sebesar 67,4 persen.”Strategi pembiayaan dilakukan secara pruden, fleksibel, oportunistik, dan terukur. Fleksibilitas pengadaan utang meliputi aspek timing, sizing, instrument, maupun currency mix untuk mendapatkan cost of fund yang optimal,” ujar Suminto.Pilihan Editor: Utang Pemerintah Naik jadi Rp 8.253 Triliun, Ekonom: Tiap Orang Tanggung Rp 30,5 Juta