Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

Kasus Tom Lembong, Masalah Hukum atau Politik?

Kasus Tom Lembong, Masalah Hukum atau Politik?

Jakarta: Kasus yang menimpa mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih (Tom) Lembong masih berkutat pada dua pertanyaan: Masalah hukum atau politik? 

Dua pertanyaan ini coba dijawab dalam diskusi publik yang digagas Strategi Institute. Tom saat ini berstatus sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi impor gula pada 2015 hingga 2016.

Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Prof Anthony Budiawan, yang menjadi salah satu pembicara diskusi menilai masalah hukum yang dihadapi Tom Lembong bisa saja diartikan sebagai masalah politik. Menurut dia, komoditas gula di Indonesia bisa dibilang tidak pernah surplus.

“Pernyataan Kejaksaan Agung yang menyebut pada 2015 terjadi surplus gula, diyakini tidak sesuai data,” kata dia, Sabtu, 16 November 2024.

Mengutip Data National Sugar Summit Indonesia, produksi gula dalam negeri pada 2015 sebesar 2,49 juta ton. Sementara, konsumsi gula nasional sebesar 2,86 juta ton. 

“Artinya, produksi gula dalam negeri lebih rendah dari kebutuhan alias tidak surplus,” kata dia.

Anthony menambahkan Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan negara mengimpor 3,3 juta ton gula pada Mei 2015. Tujuan impor itu adalah untuk menstabilkan harga gula. 

“Jadi, penetapan tersangka Tom Lembong itu terkesan dipaksakan,” ujar dia.
 

Selain itu, lanjut Anthony, tudingan terhadap Tom Lembong dianggap tidak masuk akal. Pasalnya, sudah sejak lama Indonesia terkenal sebagai negara net-impor gula.

Dia mencatat, izin impor gula kristal mentah saat itu hanya 105.000 ton untuk keperluan industri. Ini artinya hanya sekitar 3,1 persen dari total impor gula pada 2015.

Anthony juga menyoroti izin yang diberikan kepada swasta. Menurut dia, hal itu tidak menyalahi aturan.

“Izin impor yang diberikan Tom Lembong sudah mempunyai izin impor gula atau gula kristal mentah, yakni bahan baku hilirisasi untuk diproses menjadi gula kristal rafinasi dan gula kristal putih,” kata dia.
 
Apakah ada pemberian imbalan?
Pembicara lain, Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso, mengatakan penanganan kasus yang menimpa Tom Lembong harus mempertimbangkan konteks kewenangan seorang menteri. Hal ini untuk mempertegas apakah kasus tersebut benar-benar masalah hukum atau politik.

“Kebijakan impor gula yang ambil Tom Lembong seharusnya tak serta-merta dipandang sebagai tindak pidana, kecuali ditemukan indikasi jelas adanya suap atau pemberian imbalan dalam proses perizinan,” kata Sugeng.

Selanjutnya, lihat dari persoalan hukum, Sugeng mengatakan penegakan hukum dalam kasus Tom Lembong sudah terlambat. Mengingat, kebijakan impor gula ini diterapkan sejak 2015.

Sugeng juga melihat tak ada uang negara yang digunakan dalam kebijakan impor tersebut. Artinya, fokus penyelidikan seharusnya diarahkan pada pelaku usaha yang mungkin mendapat keuntungan besar dari kebijakan itu.
 
Dukung pemanggilan Jampidsus oleh DPR
Sugeng mendukung kasus yang menimpa Tom Lembong ini dibahas Komisi III DPR. DPR berencana memanggil Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk menjelaskan kasus ini.

Dikutip dari Antara, Anggota Komisi III DPR Abdullah mengatakan Komisi III DPR bakal memanggil Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus). Pasalnya, kasus impor gula ini ditangani oleh Jampidsus Kejagung.

Kejagung menyatakan menghormati rencana Komisi III DPR memanggil Jampidsus. “Kami menghormati rencana pemanggilan tersebut,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Harli Siregar.

Sementara itu, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan berencana menggelar sidang perdana gugatan praperadilan Tom Lembong pada Senin, 18 November 2024.
 

Pakar Hukum Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengatakan praperadilan bisa menjadi penegas apakah perkara yang menimpa Tom Lembong ini bernuansa politis atau murni hukum. Majelis tunggal nantinya bisa menilai kecukupan bukti yang dibawa Kejagung.

“Karena tidak mustahil seorang ditersangkakan karena faktor politik dan faktor kepentingan lain selain yuridis. Hakim praperadilan harus menggalinya,” kata Pakar Hukum Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar melalui keterangan tertulis, Sabtu, 16 November 2024.

Jakarta: Kasus yang menimpa mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih (Tom) Lembong masih berkutat pada dua pertanyaan: Masalah hukum atau politik? 
 
Dua pertanyaan ini coba dijawab dalam diskusi publik yang digagas Strategi Institute. Tom saat ini berstatus sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi impor gula pada 2015 hingga 2016.
 
Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Prof Anthony Budiawan, yang menjadi salah satu pembicara diskusi menilai masalah hukum yang dihadapi Tom Lembong bisa saja diartikan sebagai masalah politik. Menurut dia, komoditas gula di Indonesia bisa dibilang tidak pernah surplus.
“Pernyataan Kejaksaan Agung yang menyebut pada 2015 terjadi surplus gula, diyakini tidak sesuai data,” kata dia, Sabtu, 16 November 2024.
 
Mengutip Data National Sugar Summit Indonesia, produksi gula dalam negeri pada 2015 sebesar 2,49 juta ton. Sementara, konsumsi gula nasional sebesar 2,86 juta ton. 
 
“Artinya, produksi gula dalam negeri lebih rendah dari kebutuhan alias tidak surplus,” kata dia.
 
Anthony menambahkan Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan negara mengimpor 3,3 juta ton gula pada Mei 2015. Tujuan impor itu adalah untuk menstabilkan harga gula. 
 
“Jadi, penetapan tersangka Tom Lembong itu terkesan dipaksakan,” ujar dia.
 

Selain itu, lanjut Anthony, tudingan terhadap Tom Lembong dianggap tidak masuk akal. Pasalnya, sudah sejak lama Indonesia terkenal sebagai negara net-impor gula.
 
Dia mencatat, izin impor gula kristal mentah saat itu hanya 105.000 ton untuk keperluan industri. Ini artinya hanya sekitar 3,1 persen dari total impor gula pada 2015.
 
Anthony juga menyoroti izin yang diberikan kepada swasta. Menurut dia, hal itu tidak menyalahi aturan.
 
“Izin impor yang diberikan Tom Lembong sudah mempunyai izin impor gula atau gula kristal mentah, yakni bahan baku hilirisasi untuk diproses menjadi gula kristal rafinasi dan gula kristal putih,” kata dia.
 
Apakah ada pemberian imbalan?
Pembicara lain, Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso, mengatakan penanganan kasus yang menimpa Tom Lembong harus mempertimbangkan konteks kewenangan seorang menteri. Hal ini untuk mempertegas apakah kasus tersebut benar-benar masalah hukum atau politik.
 
“Kebijakan impor gula yang ambil Tom Lembong seharusnya tak serta-merta dipandang sebagai tindak pidana, kecuali ditemukan indikasi jelas adanya suap atau pemberian imbalan dalam proses perizinan,” kata Sugeng.
 
Selanjutnya, lihat dari persoalan hukum, Sugeng mengatakan penegakan hukum dalam kasus Tom Lembong sudah terlambat. Mengingat, kebijakan impor gula ini diterapkan sejak 2015.
 
Sugeng juga melihat tak ada uang negara yang digunakan dalam kebijakan impor tersebut. Artinya, fokus penyelidikan seharusnya diarahkan pada pelaku usaha yang mungkin mendapat keuntungan besar dari kebijakan itu.
 
Dukung pemanggilan Jampidsus oleh DPR
Sugeng mendukung kasus yang menimpa Tom Lembong ini dibahas Komisi III DPR. DPR berencana memanggil Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk menjelaskan kasus ini.
 
Dikutip dari Antara, Anggota Komisi III DPR Abdullah mengatakan Komisi III DPR bakal memanggil Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus). Pasalnya, kasus impor gula ini ditangani oleh Jampidsus Kejagung.
 
Kejagung menyatakan menghormati rencana Komisi III DPR memanggil Jampidsus. “Kami menghormati rencana pemanggilan tersebut,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Harli Siregar.
 
Sementara itu, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan berencana menggelar sidang perdana gugatan praperadilan Tom Lembong pada Senin, 18 November 2024.
 

Pakar Hukum Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengatakan praperadilan bisa menjadi penegas apakah perkara yang menimpa Tom Lembong ini bernuansa politis atau murni hukum. Majelis tunggal nantinya bisa menilai kecukupan bukti yang dibawa Kejagung.
 
“Karena tidak mustahil seorang ditersangkakan karena faktor politik dan faktor kepentingan lain selain yuridis. Hakim praperadilan harus menggalinya,” kata Pakar Hukum Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar melalui keterangan tertulis, Sabtu, 16 November 2024.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
dan follow Channel WhatsApp Medcom.id

(UWA)