Kasus Korupsi di Basarnas, PUKAT Sebut Perlu Dibentuk Tim Koneksitas

29 July 2023, 15:17

TEMPO.CO, Yogyakarta – Penanganan dugaan korupsi yang menyeret Kepala Basarnas Marsekal Madya TNI Henri Alfiandi merupakan anggota TNI aktif sempat menjadi perbedebatan. Kasus ini mencuat setelah Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan operasi tangkap tangan digelar pada Selasa, 25 Juli 2023 lalu, di Jakarta dan Bekasi.  Dalam kasus ini, KPK telah menetapkan Henri dan Afri sebagai tersangka korupsi bersama tiga pihak swasta. Namun, kasus tersebut akhirnya diserahkan ke Puspom TNI karena kasus keduanya bakal diusut melalui mekanisme TNI. Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM) Zaenurrohman mengatakan agar tidak terjadi rebutan kewenangan, maka harus dibentuk tim koneksitas antara KPK dengan TNI. Saat ini sesuai KUHAP (kitab undang-undang hukum acara pidana) pasal 89,90,91,92 ada tim koneksitas, mulai penyidikan dan penuntutan, dari KPK dan POM (polisi militer) TNI, juga ada oditur militer.”Ketika ada tindak pidana yang dilakukan bersama-sama, orang yang sama, anggota TNI dan sipil maka dibentuk koneksitas, KPK dan Polisi Militer,” kata Zaenurrohman, Sabtu, 29 Juli 2023.Ia menambahkan, kalau yang menjadi ukuran, penyidikan oleh siapa, tim koneksitsas, sprindik karena ada penyidik KPK dan TNI maka dilakukan penyidikan secara bersama-sama. Keuntungan tim koneksitas mengurangi potensi disparitas. “Ini yang tidak dilakukan, tim koneksitas belum dibentuk. Ada di KUHAP pasal 89 dan seterusnya,” ucapnya.Selain itu, jika sudah masuk ke ranah pengadilan, lalu, pengadilan mana yang akan menyidangkan seorang anggota TNI aktif yang didakwa melakukan tindak pidana korupsi di ranah sipil. Parameter pada kerugian, apakah terjadi dominan kejadian dan kerugian sipil atau militer. Malau dominan sipil maka peradilan di Pengadilan Negeri. “Kalau (kasus pidana korupsi) Basarnas ini yang rugi sipil, Ini institusi sipil maka di Peradilan Umum, sehingga harus diadili di Pengadilan Negeri, proses peradilan kasus Basarnas di Pengadilan Negeri. Dasar hukum KUHAP pasal 92,” kata dia.Ia menyebut ambiguitas ketidakjelasan lembaga yang menangani, bisa dicek ada di pasal 65 Undang-undang TNI, ayat 2. Yaitu mengatur kalau tindak pidana militer maka di peradilan militer. Kalau umum di peradilan umum.”Kalau pelanggaran pidana di militer, ya peradilan militer, kalau pidana umum di peradilan umum. Kalau prajuritnya mencuri senjata di barak, dijual ke teroris misalnya itu peradilan militer. Nah kalau (anggota TNI) mencuri di pasar, ya peradilan umum,” Zaenurrohman menambahkan.Pasal 62 UU TNI belum berfungsi, UU TNI belum bisa berjalan, bisa kalau UU peradilan militer 31/1997 diubah dulu, di pasal 74. Kedepan agar tindak pidana umum yang dilakukan TNI bisa diadili peradilan umum, maka DPR/Pemerintah harus diubah dulu pasal 74 itu.Selanjutnya: Kejagung dan TNI pernah bentuk tim koneksitasIklan

Tokoh

Partai

Institusi

BUMN

NGO

Organisasi

Perusahaan

Kab/Kota

Negara

Agama

Brand

Club Sports

Event

Grup Musik

Hewan

Tanaman

Produk

Statement

Fasum

Transportasi