Satu persatu pentolan PDI Perjuangan (PDIP) menjadi target Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). PDIP menyebutnya sebagai “kasus politik dan pesanan” agar partainya “awut-awutan”. Apakah ini akan memicu kejutan-kejutan politik lainnya pada 2025?
KPK menyatakan mantan Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly dan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto dicegah ke luar negeri hingga enam bulan ke depan.
KPK bilang, pencegahan ini guna penyidikan dugaan suap anggota KPU yang melibatkan tersangka Harun Masiku.
Saat kasus ini mengemuka pada 2020 lalu, sebanyak 18 lembaga masyarakat sipil pernah melaporkan Yasonna ke KPK dengan tuduhan merintangi penyidikan.
PDIP saat itu tak berkomentar banyak dan akan mengikuti proses hukum yang bergulir.
Pencegahan kepada Yasonna yang saat ini menjabat Ketua DPP PDIP menyusul penetapan Hasto sebagai tersangka kasus yang sama.
Selain tuduhan suap, Hasto juga disangkakan merintangi penyidikan (obstruction of justice).
Dua hari setelah ditetapkan tersangka pada Selasa (24/12), Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto akhirnya buka suara dan menegaskan bahwa penangkapannya adalah risiko yang harus dihadapi karena mengkritik pemerintah.
“Sejak awal ketika saya mengkritisi bagaimana demokrasi harus ditegakkan, bagaimana suara rakyat tidak bisa dikebiri, bagaimana negara hukum tidak bisa dimatikan, dan bagaimana watak kekuasaan yang otoriter, yang menindas rakyatnya sendiri harus dihentikan,” katanya pada Kamis (26/12).
“Saya sudah memahami berbagai risiko-risiko yang akan saya hadapi.”
Politikus PDIP, Guntur Romli, mempertanyakan penetapan status hukum kedua petinggi partainya: “Kok KPK sangat agresif?”
Guntur bilang pencegahan Yasonna ke luar negeri juga tidak bisa dipahami tujuannya.
“Ini kan ngawur sekali,” katanya.
Ia membandingkan kasus yang sedang mendera PDIP ini dengan kasus politikus lain yang menguap seperti menteri pemuda dan olahraga dan menteri koordinator bidang perekonomian.
“Jadi apa ada yang dalam tanda kutip memesan order ke KPK? Ini yang kami pertanyakan,” kata Guntur.
Di sisi lain, dalam keterangan kepada media, Ketua KPK, Setyo Budiyanto mengeklaim, “Kami murni melakukan proses penegakan hukum”.
Surat perintah penyidikan (sprindik) yang dikeluarkan pada23 Desember 2024 berimplikasi pada penetapan Hasto sebagai tersangka.
Setyo juga menjelaskan kasus yang bergulir sejak 2019, tapi pihaknya baru belakangan ini menetapkan Hasto sebagai tersangka “karena kecukupan alat buktinya”.
“Penyidik lebih yakin kemudian pada tahap pencarian Harun Masiku ada kegiatan pemanggilan pemeriksaan penyitaan terhadap barang bukti elektronik,” kata Setyo, Selasa (24/12).
Kasus hukum ‘politik dan pesanan’
Menurut Guntur Romli, penetapan tersangka terhadap Hasto dilatarbelakangi sikap sekjen PDIP yang “kritis terhadap penyalahgunaan kekuasaan oleh Jokowi”.
Puncaknya saat Jokowi, beserta putra sulung Gibran Rakabuming Raka dan menantu Bobby Nasution dipecat dari keanggotaan PDIP pada Senin (16/12).
“Mas Hasto sebenarnya itu dia tidak akan jadi tersangka kalau pemecatan Jokowi dan keluarganya itu dibatalkan,” kata Guntur.
Ia juga mengeklaim Hasto beberapa kali mendapat ancaman.
Kasus Harun Masiku—politikus PDIP yang berstatus buron—ia sebut sebagai “politik penyanderaan” terhadap sebagian pengurus PDIP.
Ia juga mengatakan kasus ini sebagai “kasus politik dan pesanan”.
“Bahwa ini bukan benar-benar soal hukum, tapi soal penciptaan opini lebih ke soal politiknya,” kata Guntur.
Kasus hukum yang menjerat dua pentolan PDIP ini pun ia tuding sebagai upaya “mengawut-awut” partai.
“Awut-awut” atau mengacak-acak merupakan istilah yang dilontarkan Ketum PDIP, Megawati dalam satu acara beberapa hari sebelum memecat Jokowi, Gibran dan Bobby dari keanggotan partai.
Megawati mencium ada pihak tertentu yang ingin merusak partainya.
“Ini biar kedengeran, kenapa? Karena aku juga ada nih berita, nanti di kongres, karena sekarang kurang bisa berhasil, katanya di kongres juga mau di-awut-awut,” kata Megawati, Kamis (12/12).
Guntur berpendapat, selain kasus hukum yang membelit Hasto dan Yasonna, juga ada indikasi lain sebagai bentuk serangan kepada PDIP, yaitu pemasangan spanduk-spanduk liar bertulis PDIP sebagai partai ilegal.
“Jadi ini kami melihat bahwa ini adalah orkestrasi yang sedemikian rupa, yang memang tujuannya untuk menyerang PDI Perjuangan, ibu ketua umum, dan juga sekjen,” katanya.
Jokowi merespons
Sehari setelah penetapan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto sebagai tersangka oleh KPK, Presiden Indonesia ke-7, Jokowi memberi respons: “Hormati seluruh proses hukum yang ada.”
Saat disinggung soal namanya sebagai orang yang berada di balik penetapan status tersangka tersebut, ia tersenyum.
“Hehe.. sudah purnatugas, sudah pensiunan,” ujarnya pada Rabu (25/12).
Di tempat terpisah, Gibran, putra Sulung Jokowi menolak kasus Hasto dikait-kaitkan dengan dirinya.
“Enggak ada kaitannya dengan saya, enggak ada kaitannya,” katanya.
Sejauh ini PDIP tak pernah secara tegas menuding Jokowi berada di balik serangan kepada partai banteng. Namun, hubungan antara keduanya sudah diketahui retak sejak Pilpres 2024.
Keretakan itu semakin tegas dengan pemecatan Jokowi, Gibran dan Bobby sebagai kader PDIP.
Selain tiga orang ini, terdapat 24 kader lainnya yang dipecat PDIP karena melanggar “kode etik dan disiplin partai”.
Effendi Simbolon, salah satu yang ikut dipecat dari PDIP sempat berpesan ke Megawati agar berhenti berpolemik dengan Jokowi.
“Semua juga ada waktunya, Ibu. Enggak usah terlalu kita ingin menghakimi orang lah. Ya sadari juga bahwa Pak Jokowi juga banyak yang mencintai dan banyak jasanya bagi bangsa ini dan juga banyak jasanya bagi Partai PDI Perjuangan,” katanya.
BBC News Indonesia telah menghubungi Effendi Simbolon untuk meminta konfirmasi terkait pesannya kepada Megawati tersebut, namun hingga berita ini diterbitkan yang bersangkutan tidak memberikan respons.
Suara internal PDIP pecah?
Sejauh ini tidak nampak ke permukaan adanya faksi di internal PDIP.
Tapi jauh sebelum kasus Harun Masiku yang menyeret Hasto dan Yasonna bergulir, seorang petinggi PDIP mengungkap adanya tiga faksi di internalnya.
Faksi-faksi ini bersilang pendapat tentang posisi PDIP dalam pemerintahan Prabowo-Gibran.
Faksi ini terbagi menjadi yang menginginkan segera merapat, faksi yang menolak, dan faksi yang melihat perkembangan dulu.
“Ada yang ingin segera masuk. Ada yang kepingin masuknya nanti saja, kita lihat perkembangannya dulu kayak apa. Kemudian ada yang mengatakan sudahlah enggak usah masuk. Jadi ada tiga kluster yang sedang berdinamika,” kata Bambang Wuryanto, Selasa (15/10).
Namun dengan perkembangan terkini, Politikus PDIP Guntur Romli mengeklaim tidak ada perpecahan di internal partainya.
“Bahwa PDIP perjuangan semakin ditekan, semakin melawan, dan tetap dalam koridor hukum,” katanya.
Selain itu, kata dia, pada kongres PDIP mendatang “hampir bisa dipastikan” akan ada aklamasi untuk memilih kembali Megawati sebagai ketua umum PDIP.
Apakah PDIP akan mengambil sikap oposisi?
Itu juga akan diputuskan di kongres PDIP.
“Tapi kalau kita melihat suasananya seperti ini kan, ya PDIP akan tetap bersama rakyat lah, melakukan kritik-kritik yang cerdas,” jelas Guntur.
Apakah cukup ‘mengawut-awut’ PDIP?
Banyak orang bertanya-tanya tentang apakah kasus yang menjerat dua pentolan PDIP sebagai politisasi kasus atau murni kasus hukum.
Pertanyaan serupa diutarakan oleh analis Komunikasi Politik sekaligus pendiri Lembaga Survei Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia, Hendri Satrio.
Hal yang membuatnya bertanya adalah kenapa kasus ini baru bergulir sekarang, di satu sisi.
Di sisi lain, penetapan tersangka Hasto dan pencekalan Yasonna “terlalu lemah untuk bisa mengobrak-abrik PDIP perjuangan yang memang solid dan kokoh”.
“Kasus ini harus segera selesai, supaya pemerintah Prabowo nggak kebawa-bawa. Karena pemerintahan Prabowo baru mulai,” kata Hendri.
Ia berharap semua pihak tidak mencampuradukan masalah politik dengan hukum.
“Buat rakyat itu jadi membingungkan,” katanya.
Sementara itu, peneliti senior dari Pusat Riset Politik BRIN, Profesor Firman Noor melihat memang ada kemungkinan upaya mendongkel Megawati dari kursi ketua umum.
Tapi menurutnya, langkah tersebut tidak mudah. Loyalis PDIP ia sebut sudah cukup teruji sebagaimana peristiwa 27 Juli 1996 atau Kudatuli.
“PDIP ini akan tetap menjadi magnet kekuatan kaum Marhaen kalau memang dipimpin oleh trah Sukarno, sehingga mempertahankan Megawati itu sudah mempertahankan jati diri,” kata Firman Noor.
Ia juga menilai petinggi PDIP yang terjerat hukum dapat digantikan oleh loyalis Megawati yang lainnya, sehingga tidak signifikan mempengaruhi kekuatan partai.
PDIP pasang kuda-kuda dimulai dari pemecatan Jokowi
PDIP sudah mengambil jurus pencegahan upaya mendongkel Megawati dari kursi ketua umum, kata analis politik dari Universitas Padjajaran, Firman Manan—yang tidak memiliki hubungan dengan Firman Noor.
Langkah antisipasi ini melalui pemecatan Jokowi, Gibran dan Bobby serta puluhan kader lainnya.
Menurut PDIP, mereka dipecat karena bermain dua kaki selama Pilpres dan Pilkada 2024.
Pemecatan ini bertujuan mengurangi gangguan pada kongres mendatang sebagai wadah mengambil keputusan strategis dan pemilihan ketua umum.
Pemecatan juga bermakna peringatan bagi kader dan pengurus PDIP agar tetap “berada dalam satu barisan”, serta menyaring kader-kader yang masih loyal kepada Jokowi.
“Itu [pemecatan] menurut saya justru bagian dari konsolidasi partai untuk kemudian mengantisipasi terjadinya upaya-upaya pendongkelan [Megawati],” kata Firman.
Kejutan-kejutan politik episode selanjutnya
Firman menyebut tahun depan pada 2025 akan ada banyak kemungkinan perubahan peta politik nasional yang memicu kejutan-kejutan.
Ia melihat relasi tiga tokoh politik, Megawati-Prabowo-Jokowi, akan menentukan konstelasi politik nasional.
Pertama, sikap Megawati terhadap pemerintahan Prabowo-Gibran. Hanya ada dua kemungkinan: merapat atau beroposisi.
Sejauh ini hubungan Megawati dan Prabowo disebut “tidak pernah ada masalah”, bahkan wacana pertemuan kedua tokoh terus mengemuka beberapa bulan belakangan.
Di sisi lain, Prabowo juga menyampaikan dalam pidatonya bahwa ia akan merangkul semua pihak.
“Yang akan jadi kejutan kalau ternyata PDIP nanti mengambil sikap untuk tidak menjadi oposisi… menurut saya akan mengubah konstelasi politik di level nasional,” kata Firman.
Kedua, sikap Prabowo dalam hubungan dengan Megawati dan Jokowi.
Selain berelasi baik dengan Megawati, Prabowo juga masih beberapa kali makan bareng dengan Jokowi—meski dibayang-bayangi polemik fufufafa.
Jika Prabowo merangkul PDIP ke dalam pemerintahan, “maka bukan tidak mungkin itu justru mengganggu relasi antara presiden dengan Pak Jokowi,” kata Firman.
Ketiga, sikap Jokowi yang sejauh ini diketahui pecah kongsi dengan PDIP, tapi masih menjalin hubungan baik dengan Prabowo.
Selepas dipecat dari partai banteng, Jokowi punya dua kemungkinan yang mengejutkan: bergabung dengan partai politik lain, atau membangun partai baru.
“Dia (Jokowi) kelihatannya tetap akan berupaya menjadi aktor yang signifikan dalam politik nasional,” kata Firman.
Tapi, ada kemungkinan terakhir, tapi “sulit dibayangkan” yaitu terjadi rekonsiliasi antara Megawati dengan Jokowi.