KPK-Kejagung Saling Limpahkan Kasus Pengadaan Minyak Mentah dan Google Cloud
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan Agung (Kejagung) diketahui mengusut sejumlah kasus dugaan korupsi yang hampir bersinggungan.
Dua di antaranya adalah kasus dugaan
korupsi minyak mentah
dan produk kilang di Pertamina Energy Trading Limited (Petral)/Pertamina Energy Service Pte Ltd (PES) dan dugaan korupsi Google Cloud di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi era Nadiem Makarim.
Namun, Ketua
KPK
Setyo Budiyanto dalam pernyataan terbarunya mengungkapkan bahwa penyelidikan dua kasus tersebut akhirnya bakal fokus ditangani oleh satu penegak hukum.
KPK menyerahkan penyelidikan kasus dugaan korupsi Google Cloud di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi yang terjadi saat pandemi Covid-19, ke
Kejagung
.
Setyo mengungkapkan, kasus itu dilimpahkan karena sangat beririsan dengan kasus dugaan korupsi pengadaan laptop berbasis Chromebook yang diusut Kejagung.
“Dari hasil koordinasi untuk (penyelidikan) Google Cloud itu, nanti penanganannya akan diserahkan kepada Kejaksaan Agung,” kata Setyo Budiyanto di Bogor, Jawa Barat, Selasa (18/11/2025).
“Karena irisannya sangat besar dengan proses Chromebook yang sudah ditangani oleh Kejaksaan Agung,” ujarnya lagi.
Apalagi, dia menyebut, penyelidikan Google Cloud dan kasus pengadaan Chromebook terjadi dalam periode yang sama.
“Dan karena konstruksi perkaranya, kemudian karena tempusnya dan lain-lain, semuanya memang harus diserahkan. Ya, itu yang terjadi,” katanya.
Namun, Setyo membantah jika disebut KPK dan Kejagung saling tukar dalam penanganan kasus korupsi.
Sebelumnya, Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu mengatakan, KPK tengah mengusut pembayaran terhadap Google Cloud.
Sebab, saat Pandemi Covid-19, dilakukan pengadaan Google Cloud untuk menyimpan data dari seluruh sekolah di Indonesia yang menyelenggarakan kegiatan belajar secara daring.
“Waktu itu kita ingat zaman Covid-19, ya pembelajaran dengan menggunakan pembelajaran daring. Tugas-tugas anak-anak kita yang sedang belajar dan lain-lain, kemudian hasil ujian, itu datanya disimpan dalam bentuk cloud. Google Cloud-nya,” kata Asep, di Gedung Merah Putih, Jakarta pada Kamis, 24 Juli 2025.
“Di Google Cloud itu kita kan bayar, nah ini yang sedang kita dalami,” ujar Asep.
Namun, KPK belum menjelaskan duduk perkara
kasus Google Cloud
dengan lebih rinci karena kasus ini masih dalam penyelidikan.
Sementara itu, Kejagung diketahui mengusut kasus dugaan korupsi pengadaan laptop Chromebook di Kemendikbudristek tahun 2019–2022.
Bahkan, Kejagung menetapkan mantan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim sebagai tersangka dan ditahan terkait kasus dugaan korupsi tersebut pada 4 September 2025.
Jika KPK melimpahkan penyelidikan kasus Google Cloud ke Kejagung, Korps Adhyaksa menyerahkan pengusutan kasus dugaan korupsi minyak mentah dan produk kilang di Pertamina Energy Trading Limited (Petral)/Pertamina Energy Service Pte Ltd (PES) periode tahun 2009-2015 ke Lembaga Antirasuah.
“Karena kan mereka (Kejagung) juga ternyata terinformasi mereka juga melakukan kegiatan yang sama. Nah, tapi karena tahu bahwa KPK sudah menerbitkan surat perintah penyidikan, sudah melakukan pemeriksaan-pemeriksaan, maka penanganannya dari Kejaksaan dilimpahkan,” kata Setyo.
Meski sudah dilimpahkan, Setyo mengatakan, KPK tetap berkoordinasi dengan Kejagung terkait pengusutan kasus tersebut.
Namun, Setyo mengungkapkan, perkara tersebut belum memiliki tersangka karena masih surat perintah penyidikan (sprindik) umum.
“Jadi sementara masih sprindik umum. Sekali lagi kan ini ada di negara lain, supaya yang didapatkan oleh penyidik itu utuh, ada dokumen, dokumen yang kami dapatkan nanti akan kami sinkronkan dengan dokumen yang ada di beberapa tempat,” ujarnya.
Kemudian, Setyo mengatakan kerugian negara dalam perkara ini cukup besar. Tetapi, dia belum mengungkapkan besaran kerugian negara.
“Saya detailnya lupa ya, tapi ya cukup besar sekali lah (kerugian negaranya). Ya, pastinya seperti itu. Besar lah, cukup besar,” katanya.
Sebelumnya, Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo mengatakan, pengusutan kasus minyak mentah itu dilakukan setelah ditemukan kerugian negara setelah melakukan pengembangan dua kasus, yaitu, kasus suap pengadaan katalis di PT Pertamina (persero) tahun anggaran 2012-2014 dengan salah satu tersangka Direktur Pengolahan PT Pertamina Chrisna Damayanto.
Kemudian, kasus pengadaan minyak mentah dan produk jadi kilang pada periode 2012-2014, dengan tersangka Bambang Irianto selaku Direktur Petral.
“Dalam penyidikan dua perkara tersebut, penyidik menemukan adanya dugaan tindak pidana korupsi lainnya berupa kerugian negara yang diakibatkan dari pengadaan minyak mentah dan produk jadi kilang pada periode 2009-2015,” ujar Budi.
Sementara itu, Kejagung belum lama ini Kejagung juga telah menaikkan status kasus itu ke penyidikan karena telah diterbitkan surat perintah penyidikan (sprindik).
“Terkait penyidikan dalam dugaan TPK (tindak pidana korupsi) di Petral memang Kejaksaan Agung sudah menerbitkan siprindik terhadap perkara tersebut,” kata Anang saat konferensi pers di Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Pusat, dikutip dari tayangan Kompas TV, Senin (10/11/2025).
Kemudian, Anang menyebut, penyidik mengusut adanya dugaan tindak pidana korupsi dalam pengadaan minyak mentah tersebut pada periode tahun 2008-2015.
“Periodesasinya dari 2008-2015,” ujarnya.
Namun, belum dijelaskan detail perihal penyelidikan kasus dugaan korupsi tersebut.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Tag: Setyo Budiyanto
-

KPK Masih Telaah Implikasi Putusan MK soal Larangan Polisi Isi Jabatan Sipil
Bisnis.com, JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih menganalisis putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai anggota polisi dilarang mengisi jabatan sipil.
Juru Bicara KPK Budi Prasetyo menyampaikan pihaknya masih menelaah implikasi putusan tersebut terhadap jabatan anggota kepolisian di KPK.
“Pasca putusan itu tim biro hukum KPK langsung melakukan analisis untuk mempelajari terkait dengan implikasi dari putusan itu tehadap KPK dengan jabatan-jabatan yang ada di KPK,” kata Budi dalam keterangannya, Selasa (18/11/2025).
Sampai saat ini, kata Budi, proses analisis masih terus berlangsung di mana hasilnya akan disampaikan ke Publik. Sebab, sumber daya manusia di KPK terdiri dari berbagai instansi.
Dia menyebutkan, pegawai KPK berasal dari instansi mengisi bidang pengolahan data, pencegahan korupsi, pengolahan barang milik negara, hingga kehumasan tata usaha.
“Selain dari insan-insan komisi, KPK mendapatkan dukungan sumber daya manusia dari institusi lain, dari kejaksaan, dari kepolisian, kementerian [dan] lembaga,” ujar Budi.
Budi juga merespons terkait Ketua KPK Setyo Budiyanto yang sebelumnya diberitakan masih aktif sebagai anggota Polisi.
Budi menjelaskan bahwa Setyo sudah purnawirawan atau tidak aktif di struktural Polri sehingga Setyo secara penuh bekerja di ruang lingkup Komisi Pemberantasan Korupsi.
“Setyo Budianto juga per 1 Juli 2025 juga sudah masuk menjadi purnawirawan atau purna tugas, artinya putusan MK tidak ada implikasi terhadap status dari ketua KPK,” tegas Budi.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan bahwa anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) tidak dapat menduduki jabatan di luar institusi kepolisian selama masih berstatus aktif.
Penegasan ini tertuang dalam Putusan Nomor 114/PUU-XXIII/2025, yang menyatakan frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
-
/data/photo/2025/10/06/68e352204527a.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Ketua KPK Tidak Terdampak Putusan MK karena Sudah Pensiun sebagai Polisi
Ketua KPK Tidak Terdampak Putusan MK karena Sudah Pensiun sebagai Polisi
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Setyo Budiyanto sudah pensiun atau purna tugas sebagai anggota Kepolisian Republik Indonesia (Polri).
“Terkait dengan status atau posisi
Ketua KPK
, Pak
Setyo Budiyanto
bahwa Ketua KPK saat ini sudah
purna tugas
dari kepolisian,” kata Juru Bicara KPK Budi Prasetyo, saat ditemui di Gedung KPK Merah Putih, Senin (17/11/2025).
Karena itu, Budi menegaskan bahwa Setyo sudah tidak lagi berstatus anggota Polri dan kini hanya menjabat sebagai pimpinan KPK.
Dalam prosesnya, Budi mengatakan, pemilihan Ketua KPK memang dibuka secara umum oleh panitia pelaksana (pansel) sehingga semua warga dapat mengetahuinya.
Dengan begitu, semua warga yang memenuhi syarat bisa mendaftar sebagai pimpinan KPK.
“Artinya memang sudah melalui proses dan tahapan yang sesuai dengan mekanismenya, dan Pak Setyo per 1 Juli 2025, juga sudah masuk menjadi purnawirawan atau purna tugas,” tegas dia.
“Artinya,
putusan MK
tidak ada implikasi terhadap status dari Ketua KPK,” tambah dia.
Namun, untuk sejumlah
polisi
aktif yang menduduki jabatan di KPK, Budi mengatakan bahwa pihaknya masih mempelajari lebih jauh putusan
Mahkamah Konstitusi
ini.
“Itu yang masih akan dipelajari oleh tim biro hukum. Jadi, cakupan dari putusan MK ini sejauh apa? dan seperti apa terkait dengan posisi-posisi jabatan di KPK,” ucap dia.
Diberitakan sebelumnya, MK dalam sidang putusan di Jakarta, hari ini, mengabulkan seluruh permohonan uji materi terhadap Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri.
“Amar putusan, mengadili: 1. Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Suhartoyo, dalam sidang yang digelar di ruang sidang pleno Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Kamis (13/11/2025).
Hakim konstitusi Ridwan Mansyur berpandangan, frasa “mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian” adalah persyaratan yang harus dipenuhi oleh anggota Polri untuk menduduki jabatan sipil.
Rumusan tersebut adalah rumusan norma yang expressis verbis yang tidak memerlukan tafsir atau pemaknaan lain.
Sementara itu, frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” sama sekali tidak memperjelas norma Pasal 28 ayat (3) UU 2/2002 yang mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan terhadap norma dimaksud.
Terlebih, adanya frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” telah mengaburkan substansi frasa “setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian” dalam Pasal 28 ayat (3) UU 2/2002.
Menurut dia, hal tersebut berakibat menimbulkan ketidakpastian hukum dalam pengisian bagi anggota Polri yang dapat menduduki jabatan di luar kepolisian; dan sekaligus menimbulkan ketidakpastian hukum bagi karier ASN yang berada di luar institusi kepolisian.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Fitur Apresiasi Spesial dari pembaca untuk berkontribusi langsung untuk Jurnalisme Jernih KOMPAS.com
melalui donasi.
Pesan apresiasi dari kamu akan dipublikasikan di dalam kolom komentar bersama jumlah donasi atas nama
akun kamu. -

Dinilai Rugikan Keuangan Negara, 4.132 Polisi Aktif Didesak Mundur dari Jabatan Sipil
GELORA.CO – Pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Ficar Hadjar, menilai 4.132 personel polisi aktif yang menduduki jabatan sipil telah menghamburkan keuangan negara karena rangkap jabatan.
“Bayangkan 4.132 personil polisi mendapat gaji ganda dari negara, ini jelas tindakan yang dapat ditafsirkan secara sengaja merugikan keuangan Negara,” kata Ficar melalui keterangannya kepada Inilah.com, Sabtu (15/11/2025).
Menurut Ficar, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK), perwira aktif seharusnya mundur dari jabatan sipil.
“Putusan ini menegaskan kembali norma yang ada pada UU Kepolisian yang mengharuskan pengunduran diri atau pensiun terlebih dahulu sebelum menduduki jabatan sipil,” ucap Ficar.
Termasuk Ketua KPK, Setyo Budiyanto, yang menurut Ficar juga seharusnya mundur dari jabatan di lembaga antirasuah tersebut. Hal itu dianggap ironi karena KPK bertugas memberantas korupsi dan kerugian negara. Walaupun Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, telah mengklarifikasi bahwa Setyo sudah pensiun dari Polri dan tidak lagi aktif.
“Yang ironis, ini juga dialami dan dilakukan justru oleh seorang Ketua KPK yang notabene juga seorang polisi aktif. Jika sudah begini, maka tidak keliru orang menyatakan inilah korupsi yang terjadi di atas pemberantasan korupsi,” ucap Ficar.
Sebelumnya diberitakan, Ketua KPK Setyo Budiyanto disebut sudah tidak lagi aktif sebagai anggota Polri dan telah memasuki masa pensiun sejak 1 Juli 2025.
Hal itu disampaikan Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, menanggapi pemberitaan Inilah.com berjudul “Berikut Sebagian Nama Polisi Aktif yang Duduki Jabatan Sipil, Ada Ketua KPK.”
“Adapun Ketua KPK, Bapak Setyo Budiyanto, sudah purnawirawan per 1 Juli 2025,” kata Budi kepada Inilah.com, Sabtu (15/11/2025).
Budi menegaskan bahwa Setyo terpilih sebagai Ketua KPK melalui mekanisme seleksi panitia dan telah memenuhi seluruh prosedur yang berlaku.
“Dan pemilihan Pimpinan KPK, awal prosesnya melalui Pansel yang memberikan kesempatan pada semua WNI yang memenuhi syarat,” ucap Budi.
Sebelumnya diberitakan, Mahkamah Konstitusi (MK) baru saja mengabulkan permohonan uji materiil Pasal 28 ayat 3 dan Penjelasan Pasal 28 ayat 3 Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri).
Permohonan dengan nomor 114/PUU-XXIII/2025 tersebut berkaitan dengan penugasan anggota Polri di luar kepolisian. “Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK, Suhartoyo, di Ruang Sidang Utama MK, Jakarta Pusat, Kamis (13/11/2025).
Dengan putusan itu, MK menghapus ketentuan yang selama ini menjadi celah bagi polisi aktif menduduki jabatan sipil tanpa melepas status keanggotaan mereka terlebih dahulu.
-
/data/photo/2025/09/05/68babeaac05ea.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Polisi Aktif Dinilai Tetap Boleh Isi Jabatan Sipil, Asalkan…
Polisi Aktif Dinilai Tetap Boleh Isi Jabatan Sipil, Asalkan…
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang melarang anggota Polri aktif menduduki jabatan sipil tanpa mengundurkan diri atau pensiun memantik kembali perdebatan soal batasan keterlibatan polisi di instansi non-kepolisian.
Menurut Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (
Kompolnas
) Mohammad Choirul Anam atau Cak Anam menegaskan bahwa aturan tetap membuka ruang tertentu bagi anggota Polri aktif untuk mengisi jabatan sipil, dengan syarat yang ketat.
Undang-Undang Kepolisian memang membatasi penempatan
polisi
aktif pada jabatan sipil yang tidak memiliki relevansi dengan tugas pokok Polri.
“Menurut undang-undang kepolisian, itu memang dilarang kalau tidak berkaitan,” ujar Cak Anam kepada
Kompas.com
, Sabtu (15/11/2025).
Namun, ia menegaskan bahwa penempatan berbasis kebutuhan tetap dimungkinkan selama jabatan tersebut berkaitan erat dengan tugas penegakan hukum atau memerlukan keahlian kepolisisian.
“Kalau yang berkaitan memang boleh. Itu ada aturannya dalam undang-undang ASN yang diatur di PP. Jika berkaitan, memang dibolehkan,” kata Cak Anam.
Ia mencontohkan lembaga-lembaga yang dalam praktiknya membutuhkan personel Polri karena karakteristik pekerjaannya.
“Misalnya BNN, BNPT, KPK, atau lembaga lain yang memang erat kaitannya dengan kerja-kerja kepolisian. Khususnya penegakan hukum yang tidak bisa tergantikan,” ujarnya.
Cak Anam merujuk pada UU Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN sebagai dasar hukum yang memperbolehkan anggota Polri mengisi jabatan tertentu di instansi sipil.
Pasal 19 menyatakan:
1. Jabatan ASN diisi dari Pegawai ASN.
2. Jabatan ASN tertentu dapat diisi dari prajurit TNI dan anggota Polri yang dilaksanakan pada instansi pusat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang mengenai TNI dan Undang-Undang mengenai Polri.
Sementara Pasal 20 mengatur sebaliknya:
Pegawai ASN dapat menduduki jabatan di lingkungan TNI dan Polri sesuai kompetensi yang dibutuhkan.
Hal ini yang menurut Cak Anam membuka ruang bagi anggota Polri untuk mengisi jabatan sipil, selama sifat jabatannya relevan dan dibutuhkan.
Pengamat kepolisian dan mantan Komisioner Kompolnas, Poengky Indarti, menilai polemik “polisi vs jabatan sipil” muncul karena adanya salah kaprah mengenai kedudukan polisi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
“Yang saya heran adalah dikotomi polisi dan jabatan sipil. Seolah polisi itu bukan sipil dan ‘memaksakan diri’ duduk di jabatan sipil,” kata Poengky kepada
Kompas.com
, Sabtu.
Ia menegaskan, sejak Reformasi 1998, Polri telah menjadi institusi sipil sepenuhnya.
Hal ini ditegaskan melalui TAP MPR Nomor VI Tahun 2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri serta UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri.
“Polisi itu sipil, bukan militer, bukan kombatan seperti tentara. Polisi juga tunduk pada peradilan umum. Jadi semakin jelas sipilnya,” tegas Poengky.
Putusan MK menjadi sorotan karena saat ini banyak perwira tinggi Polri aktif yang menduduki jabatan strategis di kementerian dan lembaga negara, termasuk yang tidak berkaitan langsung dengan penegakan hukum.
Mereka juga menjadi pihak yang namanya tercantum dalam permohonan uji materi yang dikabulkan MK.Berikut nama-nama polisi aktif yang menduduki jabatan sipil dan tertuang dalam berkas permohonan ke MK:
1. Komjen Pol Setyo Budiyanto – Ketua KPK
2. Komjen Pol Rudy Heriyanto Adi Nugroho – Sekjen Kementerian KKP
3. Komjen Pol Panca Putra Simanjuntak – Lemhannas
4. Komjen Pol Nico Afinta – Sekjen Kementerian Hukum
5. Komjen Pol Suyudi Ario Seto – Kepala BNN
6. Komjen Pol Albertus Rachmad Wibowo – Wakil Kepala BSSN
7. Komjen Pol Eddy Hartono – Kepala BNPT
8. Irjen Pol Mohammad Iqbal – Inspektur Jenderal DPD RI
Polisi aktif lain yang menduduki jabatan sipil:
1. Brigjen Sony Sanjaya – Wakil Kepala Badan Gizi Nasional
2. Brigjen Yuldi Yusman – Plt Dirjen Imigrasi, Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan
3. Kombes Jamaludin – Kementerian Haji dan Umrah
4. Brigjen Rahmadi – Staf Ahli Kementerian Kehutanan
5. Brigjen Edi Mardianto – Staf Ahli Mendagri
6. Irjen Prabowo Argo Yuwono – Irjen Kementerian UMKM
7. Komjen I Ketut Suardana – Irjen Kementerian Perlindungan Pekerja Migran
Sejumlah jabatan tersebut dinilai tidak seluruhnya memiliki keterkaitan langsung dengan penegakan hukum, sehingga keberadaannya dipertanyakan setelah putusan MK keluar.
Pada Kamis pekan lalu, MK mengabulkan seluruh permohonan uji materi perkara 114/PUU-XXIII/2025 terkait Pasal 28 ayat (3) UU Polri.
Putusan tersebut menegaskan bahwa anggota Polri aktif tidak boleh menduduki jabatan sipil tanpa mengundurkan diri atau pensiun dari institusi.
“Amar putusan, mengadili: 1. Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Suhartoyo, Kamis.
Hakim konstitusi Ridwan Mansyur menjelaskan bahwa frasa “mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian” adalah syarat mutlak untuk menduduki jabatan sipil.
Sementara penambahan frasa dalam penjelasan pasal “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” justru mengaburkan norma tersebut.
Frasa itu memperluas makna aturan dan menyebabkan ketidakpastian hukum, baik bagi anggota Polri yang ingin menduduki jabatan sipil maupun bagi ASN yang bersaing mengisi jabatan serupa.
Menurutnya, hal tersebut berakibat menimbulkan ketidakpastian hukum dalam pengisian bagi anggota Polri yang dapat menduduki jabatan di luar kepolisian, dan sekaligus menimbulkan ketidakpastian hukum bagi karier ASN yang berada di luar institusi kepolisian.
“Berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tersebut di atas, dalil para Pemohon bahwa frasa ‘atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri’ dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU 2/2002 telah ternyata menimbulkan kerancuan dan memperluas norma Pasal 28 ayat (3) UU 2/2002 sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum sebagaimana yang dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 adalah beralasan menurut hukum,” kata Ridwan.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Kena OTT, KPK Bawa Gubernur Riau ke Jakarta Hari Ini (4/11)
Bisnis.com, JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berencana memboyong Gubernur Riau Abdul Wahid ke Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (4/11/2025). Hal itu dilakukan setelah yang bersangkutan ditangkap dalam operasi tangkap tangan (OTT) KPK pada Senin (3/11).
“Kemungkinan dijadwalkan besok [Selasa 4/11],” ujar Juru Bicara KPK Budi Prasetyo dilansir dari Antara, Senin (3/11/2025).
Pada kesempatan berbeda, Budi mengatakan bahwa KPK memperkirakan Abdul Wahid tiba di Gedung Merah Putih KPK pada Selasa (4/11) siang.
Sebelumnya, Wakil Ketua KPK Fitroh Rohcahyanto mengonfirmasi kabar OTT yang turut menangkap Gubernur Riau.
“Ya,” ujar Fitroh saat dikonfirmasi ANTARA di Jakarta, Senin (3/11).
Ketua KPK Setyo Budiyanto juga mengonfirmasi penangkapan Gubernur Riau Abdul Wahid dalam OTT.
“Benar, sementara masih berproses,” ujar Setyo.
Daftar OTT KPK Sepanjang 2025
Adapun, OTT tersebut merupakan yang keenam yang dilakukan KPK pada tahun 2025.
KPK mulai melakukan OTT pertama pada tahun ini dengan menjaring anggota DPRD dan pejabat Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kabupaten Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan, yakni pada Maret 2025.
Kedua, pada Juni 2025, OTT terkait dugaan suap proyek pembangunan jalan di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Provinsi Sumut, dan Satuan Kerja Pelaksanaan Jalan Nasional Wilayah I Sumut.
Ketiga, OTT selama 7-8 Agustus 2025, di Jakarta; Kendari, Sulawesi Tenggara; dan Makassar, Sulawesi Selatan. OTT tersebut terkait kasus dugaan korupsi proyek pembangunan rumah sakit umum daerah di Kolaka Timur, Sulawesi Tenggara.
Keempat, OTT di Jakarta pada 13 Agustus 2025, mengenai dugaan suap terkait dengan kerja sama pengelolaan kawasan hutan.
Kelima, OTT terkait kasus dugaan pemerasan pengurusan sertifikasi K3 di Kementerian Ketenagakerjaan yang melibatkan Immanuel Ebenezer Gerungan selaku Wakil Menteri Ketenagakerjaan pada saat itu.
Keenam, OTT KPK terkait penyelenggara di Provinsi Riau yang menyeret Gubernur Abdul Wahid.
-

Ketua KPK Bertemu Sri Sultan Hamengkubuwono X, Ini yang Dibahas
Jakarta, Beritasatu.com – Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Setyo Budiyanto bertemu dengan Gubernur DI Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono X pada hari ini, Selasa (28/10/2025) di Yogyakarta. Kedua tokoh tersebut bertemu untuk membahas hari antikorupsi sedunia (Hakordia) yang rencananya akan digelar di Yogyakarta pada 9 Desember 2025 mendatang.
“Benar, hari ini Ketua KPK, Bpk Setyo Budiyanto beraudiensi dengan Gubernur DIY Sri Sultan Hamengkubuwono X dalam rangka persiapan awal rencana peringatan hari antikorupsi sedunia, yang diperingati setiap tahunnya pada tanggal 9 Desember. Tahun ini, rangkaian kegiatan tersebut rencana akan berpusat di Yogyakarta,” ujar Juru Bicara KPK Budi Prasetyo dalam keterangannya, Selasa (28/10/2025).
Budi menjelaskan alasan Yogyakarta dipilih sebagai tempat penyelenggaraan peringatan Hakordia Tahun 2025. Pasalnya, kata Budi, Yogyakarta merupakan kota pendidikan dan kota budaya yang selaras dengan upaya-upaya pemberantasan korupsi khususnya melalui lajur pencegahan dan pendidikan.
“Selain itu, Yogyakarta sebagai salah satu pemerintah daerah yang memiliki tata kelola pemerintahan yang baik,” tandas dia.
Budi berharap Yogyakarta menjadi salah satu rujukan daerah lain untuk melakukan improvement di mana KPK melalui fungsi koordinasi-supervisi terus melakukan pendampingan dan pengawasan kepada seluruh pemerintah daerah. Selain itu, kata dia, KPK melalui survei Penilaian integritas (SPI), telah memberikan rekomendasi perbaikan atas temuan-temuan risiko terjadinya korupsi pada suatu institusi.
“Di wilayah Yogyakarta, KPK sebelumnya juga melakukan piloting untuk program desa antikorupsi, yang saat ini terus berkembang dan sudah ada di setiap provinsi di seluruh Indonesia. Termasuk pengembangannya, yaitu kota/kabupaten antikorupsi,” ungkap Budi.
Sri Sultan Hamengkubuwono X juga merespons positif dan mendukung penuh kegiatan Hakordia 2025. Bahkan, kata dia, Sri Sultan Hamengkubuwono X memfaslitasi beberapa tempat untuk peringatan Hakordia tersebut.
“Harapannya kegiatan ini akan lebih banyak melibatkan masyarakat, mahasiswa, pelajar, termasuk budayawan dan pekerja seni, serta UMKM. KPK juga terus mengajak seluruh pihak, baik kementerian, lembaga, pemerintah daerah, akademisi, CSO, dan masyarakat sipil lainnya untuk menjadikan peringatan ini sebagai penguat kembali semangat antikorupsi,” pungkas Budi.
/data/photo/2025/11/19/691d1eec0c34d.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)


