Jakarta, Beritasatu.com – Pendiri Haidar Alwi Institute (HAI) R Haidar Alwi memberikan kritikan keras terhadap hasil riset Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP) yang merilis daftar finalis pemimpin yang terlibat dalam kejahatan terorganisasi dan paling korup di dunia, termasuk Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi).
Menurut Haidar, riset tersebut lemah karena segala bentuk tindak kejahatan tidak dapat dibuktikan dengan polling atau jajak pendapat.
Dari sejumlah nama yang dirilis OCCRP, Jokowi menjadi salah satu dari lima finalis dengan suara terbanyak tahun ini. Nama-nama yang masuk nominasi dan perolehan suara diusulkan serta berasal dari para pembaca, jurnalis, dewan juri, dan pihak lain dalam jaringan global OCCRP.
“Pembuktian kejahatan atau pelanggaran hukum adalah melalui persidangan di pengadilan. Bukan melalui polling atau jajak pendapat,” ujar Haidar Alwi kepada wartawan, Rabu (1/1/2025).
Haidar menegaskan, hingga saat ini tidak ada satu pun putusan pengadilan yang memvonis Jokowi bersalah telah melakukan tindak pidana korupsi. Bahkan, kata dia, tuduhan kejahatan terorganisasi dalam pilpres untuk memenangkan salah satu paslon tidak terbukti di Mahkamah Konstitusi (MK).
“Jika metodologinya benar, seharusnya dewan juri OCCRP tidak meloloskan usulan nama Jokowi. Sebab, bagaimana bisa memasukkan nama seseorang ke dalam daftar tersebut, sementara tidak ada satu pun putusan pengadilan yang memvonisnya bersalah atas kejahatan yang dituduhkan? Jelas sekali ini merupakan suatu kesalahan nyata,” jelas Haidar.
Haidar mengatakan, predikat yang disematkan OCCRP terhadap Jokowi hanya usulan yang tidak berdasar dari para pemegang hak suara dalam polling atau jajak pendapat. Menurut dia, hal tersebut dapat merusak reputasi dan nama baik Jokowi di mata masyarakat Indonesia bahkan dunia.
“OCCRP harus meralat rilisnya dan meminta maaf kepada Jokowi. Jika tidak, OCCRP yang berisi para jurnalis investigasi sama saja dengan mencoreng kredibilitasnya sendiri,” tutur Haidar.
Selain itu, lanjut Haidar, yang menjadi perhatian adalah tidak masuknya Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, dalam daftar tersebut. Padahal, kata dia, Netanyahu selama ini sering dikaitkan dengan berbagai tindakan kejahatan kemanusiaan, terutama terkait kebijakannya terhadap Palestina. Ia menghadapi sejumlah dakwaan pidana, termasuk kasus penipuan, penyalahgunaan kekuasaan, dan korupsi dalam pengadilan domestik Israel.
“Netanyahu yang sudah diperintahkan untuk ditangkap oleh Pengadilan Kriminal Internasional justru luput dari riset OCCRP. Sedangkan Jokowi yang tanpa vonis kejahatan malah masuk. Ini semakin menunjukkan kelemahan OCCRP dalam melakukan risetnya,” terang Haidar.
Tak hanya itu, kata Haidar, OCCRP dalam rilis profil organisasinya menyatakan bahwa partner penerbitan mereka di Indonesia adalah Tempo. Menurut Haidar, Tempo dikenal sering menyudutkan Jokowi dengan kritik-kritik yang dianggap tidak proporsional oleh sebagian pihak. “Dari kelemahan-kelemahan yang ada, masyarakat bisa menilai apakah riset OCCRP layak dipercaya atau tidak,” pungkas Haidar.