TRIBUNENNEWS.COM – Presiden terpilih Amerika Serikat (AS) Donald Trump kembali mengancam Hamas yang masih menyandera sejumlah warga Israel di Jalur Gaza.
Trump mengatakan neraka bisa berkobar di Timur Tengah jika Hamas tak segera melepaskan sandera.
“Jika mereka (para sandera) tidak kembali saat saya sudah menjabat (sebagai Presiden), semua neraka akan berkobar di Timur Tengah,” ujar Trump kepada wartawan di Mar-a-Lago hari Selasa, (7/1/2024), dikutip dari Al Awsat.
“Dan itu tak akan bagis bagi Hamas, dan tegasnya itu tidak akan bagus bagi semua orang. Semua neraka akan berkobar. Saya tak perlu berkata-kata lagi, tetapi begitulah.”
Dia tidak menyampaikan apa yang bakal dilakukannya jika sandera belum kembali saat dia menjabat.
Trump sendiri akan kembali berkantor di Gedung Putih mulai tanggal 20 Januari nanti atau kurang dari dua minggu lagi.
“Mereka (Hamas) seharusnya tak pernah mengambil mereka (sandera),” ucap Trump.
“Seharusnya tidak ada serangan tanggal 7 Oktober. Orang-orang melupakan itu. Tetapi ada, dan banyak orang yang tewas.”
Presiden Amerika Serikat terpilih Donald Trump (The Guardian)
Politikus kontroversial itu lalu mengundang Steve Witkoff untuk berbicara kepada wartawan. Witkoff ditunjuk sebagai utusan Trump untuk Timur Tengah.
“Jadi, saya pikir kita membuat banyak kemajuan, dan saya tak ingin berkata terlalu banyak karena saya kira mereka menjalankan kerja mereka dengan sangat baik di Doha,” kata Witkoff.
Witkoff baru saja tiba dari Doha, Qatar. Di sana delegasi Israel dan Hamas bergenosiasi tentang gencatan senjata.
Dia mengklaim red lines atau batas-batas toleransi yang ditetapkan Trump telah mendorong adanya negosiasi di Doha.
Witkoff menyebut Trump telah memberinya banyak kewenangan untuk berbicara atas nama dirinya.
“Saya pikir mereka (para pemimpin Hamas) mendengarnya dengan keras dan jelas,” katanya.
Sementara itu, mengenai negosiasi, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan tidak akan menghentikan perang di Gaza hingga Hamas dihancurkan dan semua sandera dipulangkan.
Di sisi lain, Hamas mengaku hanya akan membebaskan sandera yang tersisa jika Israel sepakat mengakhiri perang dan menarik semua pasukannya dari Gaza.
“Pengalaman berunding dengan Israel telah membuktikan bahwa satu-satunya solusi untuk mewujudkan hak-hak rakyat kami ialah dengan melawan musuh dan memaksanya mundur,” kata Osama Hamdan, salah satu pemimpin senior Hamas.
Dua Tentara Israel di pagar keamanan yang memisahkan wilayah pendudukan Israel dengan Jalur Gaza. (khaberni)
Dalam konferensi pers di Aljazair hari Selasa, Hamas mengklaim Israel harus disalahkan karena merusak segala upaya untuk mencapai kesepakatan.
“Sikap jelas kami dalam negosiasi ini adalah gencatan senjata, penarikan mundur Israel, pertukaran tahanan, dan pembangunan kembali Gaza tanpa syarat-syarat dari Israel,” ujarnya.
Hamdan turut mengomentari ancaman dari Trump. “Saya pikir Presiden AS itu harus lebih banyak membuat pernyataan yang terkontrol dan diplomatis.”
Adapun Menteri Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Israel Gila Gamliel pada hari yang sama menyebut Israel tak akan menarik diri dari Gaza hingga semua sandera dibebaskan.
Selama berbulan-bulan Mesir dan Qatar telah menjadi juru penengah dalam perundungan antara Israel dan Hamas.
Sementara itu, pemerintahan AS di bawah Presiden Joe Biden telah melakukan upaya terakhir untuk mewujudkan gencatan senjata sebelum Biden lengser.
Kabinet Netanyahu dituding ingin bunuh sandera
Beberapa hari lalu seorang warga Israel yang disandera Hamas di Gaza mengungkapkan kekecewaannya kepada pemerintahan Netanyahu.
Keluh kesahnya itu disampaikan lewat video yang diunggah sayap militer Hamas, Brigade Al Qassam, hari Sabtu, (4/1/2025).
Dalam pernyataannya selama 3,5 menit, sandera berama Liri Albag itu mengklaim kabinet Netanyahu ingin membunuh para sandera.
“Kalian ingin membunuh kami?” tanya Elbag dikutip dari IRNA.
Albag berusia 19 tahun. Sebelumnya, dia menjadi tentara perempuan yang bertugas memantau perbatasan Israel-Gaza.
Dia mengkritik pemerintah Israel. Menurutnya, pembebasan sandera di Gaza bukanlah prioritas kabinet maupun militer Israel.
Albag juga khawatir dunia mulai melupakan para sandera. Kata dia, keberlangsungan hidup sandera tergantung pada penarikan pasukan Israel dan upaya IDF untuk menjangkau sandera.
“Jika orang-orang terkasih kalian disandera, akankah perang masih berlanjut?” tanya Albag.
Perempuan itu meragukan komitmen Israel untuk mengakhiri perang di Gaza yang sudah berlangsung lebih dari setahun.
Kemudian, dia menyampaikan pesan kepada Menteri Pertahanan Israel.
“Lihatlah mata ayah saya dan beri tahu dia dan ibu saya bahwa mereka tak akan pernah memeluk anak perempuan mereka lagi,” katanya.
“Anda tidak punya keberanian untuk melakukan itu. Saya sadar bahwa kami hanya pion dalam permainan Anda.”
Di samping itu, dia berpesan kepada orang-orang yang berada di dalam kabinet Netanyahu.
“Kalian tidak akan menyelamatkan kami melalui operasi militer, kalian tahu tak akan bisa.”
“Ini pencarian yang menjengkelkan, dan kami dibombardir setiap hari. Bagaimana bisa seseorang tinggal di suatu tempat yang kalian bombardir, tanpa tempat berlindung?”
(Tribunnews.com/Febri)