Bisnis.com, JAKARTA— Vivo mengungkap jaringan 5G yang belum merata turut berdampak pada keputusan masyarakat dalam membeli smartphone 5G. Selain itu, pengguna juga mempertimbangkan faktor kamera hingga daya tahan baterai.
Hal tersebut disampaikan PR Manager vivo Indonesia Alexa Tiara yang menilai respons konsumen terhadap perangkat 5G masih cukup positif, terutama di wilayah yang sudah memiliki dukungan jaringan memadai.
“Di saat yang sama, kami menyadari kesiapan jaringan di Indonesia masih bervariasi, sehingga kebutuhan konsumen pun berbeda-beda,” kata Alexa kepada Bisnis pada Selasa (2/12/2025).
Menurut Alexa, kondisi tersebut menjadi dasar bagi vivo untuk menghadirkan portofolio produk yang fleksibel, dengan menawarkan pilihan perangkat 4G dan 5G di sejumlah lini. Dengan begitu, konsumen dapat memilih perangkat yang paling sesuai dengan kondisi jaringan maupun pola penggunaan mereka.
Dia menjelaskan adopsi 5G menunjukkan tren stabil, menandakan konsumen masih mempertimbangkan banyak faktor sebelum beralih ke perangkat generasi terbaru.
Faktor-faktor tersebut mencakup harga, daya tahan baterai, serta fitur kamera yang mendukung aktivitas harian. Selain itu, sebagian besar pengguna juga masih menilai jaringan 4G sudah cukup memadai.
“Pada saat yang sama, hadirnya perangkat 5G tetap menjadi langkah penting dalam mendorong inovasi dan mempersiapkan konsumen menuju pengalaman konektivitas yang lebih cepat,” ujarnya.
Alexa menegaskan fokus vivo adalah menghadirkan produk yang benar-benar menjawab kebutuhan pengguna di berbagai segmen.
Dia menambahkan semangat “Joy in Us” menjadi landasan vivo dalam menghadirkan inovasi yang relevan dengan kehidupan konsumen.
“Dengan inovasi teknologi yang terus berkembang, kami yakin vivo dapat tetap berkontribusi pada pertumbuhan pasar smartphone di Indonesia sekaligus menawarkan pengalaman yang terbaik bagi masyarakat,” tuturnya.
Sementara itu, laporan Counterpoint Research menunjukkan adopsi smartphone 5G di Indonesia masih berjalan lambat. Pada kuartal III/2025, perangkat 5G hanya menguasai 35% dari total pengapalan, stagnan dibandingkan kuartal sebelumnya. Secara tahunan, pertumbuhannya naik tipis 4%, menunjukkan penetrasi yang belum masif.
Counterpoint juga mencatat fluktuasi dalam empat kuartal terakhir. Pada kuartal IV/2024, pangsa pengapalan perangkat 5G turun ke 25% dari 31% pada kuartal sebelumnya. Pemulihan terjadi pada kuartal I/2025 yang naik menjadi 26%, kemudian melonjak ke 35% pada kuartal II/2025, dan bertahan pada kuartal III/2025. Stabilitas ini didorong meningkatnya ketersediaan perangkat 5G yang lebih terjangkau, terutama di kelas menengah.
Di sisi lain, pasar smartphone nasional secara keseluruhan mencatat pemulihan kuat. Pengiriman smartphone tumbuh 12% secara tahunan pada kuartal III/2025, didorong stabilitas ekonomi, ekspor, dan meningkatnya permintaan domestik.
Segmen entry-level menjadi motor utama pertumbuhan. Pengapalan smartphone di bawah US$150 melonjak 42% secara tahunan dan kini menguasai 55% pangsa pasar, berkat strategi agresif produsen menyediakan perangkat terjangkau. Adapun segmen menengah dan premium terkoreksi. Pengiriman perangkat US$150–349 turun 10%, segmen US$350–699 turun 11%, dan perangkat premium di atas US$700 merosot 14%.
Dari sisi merek, Samsung memimpin pasar dengan pangsa 20%, diikuti Xiaomi 17%, OPPO 16%, vivo 14%, serta Infinix 12% yang mencatat pertumbuhan paling agresif dengan kenaikan 45% secara tahunan.
Sementara itu, pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) menyiapkan lelang frekuensi 2,6 GHz untuk meningkatkan layanan 5G. Pita 2,6 GHz termasuk kategori mid-band dengan keunggulan kapasitas dan ketersediaan bandwidth hingga 190 MHz.
Selain itu, pita 2,6 GHz dengan moda Time Division Duplex (TDD) memiliki ekosistem perangkat 4G dan 5G terbesar kedua secara global. Pemanfaatan pita tersebut diharapkan mampu meningkatkan kualitas konektivitas broadband secara signifikan.
