Bisnis.com, JAKARTA— Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) menilai bisnis menara telekomunikasi di Indonesia tengah menghadapi fase stagnasi bahkan potensi penurunan, jika hanya diukur dari rasio tenancy atau tingkat penyewaan menara.
Ketua Umum Mastel, Sarwoto Atmosutarno, mengatakan tren ini dipicu oleh sejumlah faktor struktural dan perubahan teknologi di industri telekomunikasi.
Dia menjelaskan, penyebab pertama adalah efisiensi akibat konsolidasi operator seluler menjadi hanya tiga entitas besar. Sementara perusahaan yang merger, akan melakukan efisiensi.
Adapun dalam 5 tahun terakhir ada dua merger besar di industri telekomunikasi. Pertama, merger Indosat dan Tri Indonesia. Kedua, merger XL dan Smartfren.
“Tower adalah salah satu sasaran bisnis efisiensi,” kata Sarwoto kepada Bisnis pada Selasa (4/11/2025).
Selain itu, lanjut Sarwoto, disrupsi dari perkembangan teknologi Base Transceiver Station (BTS) satelit atau yang dikenal dengan Sat Direct to Device (D2D) juga turut memengaruhi.
Sarwoto menilai perlu adanya peninjauan ulang terhadap strategi bisnis penyedia menara ke depan.
Dia menekankan operator menara tidak bisa lagi hanya bergantung pada kekuatan utama berupa tower power, tetapi harus memperluas layanan ke fasilitas lain seperti jaringan fiber optik, backhauling IP core, serta BTS indoor.
Meski begitu, Sarwoto melihat masih ada peluang di sektor infrastruktur 5G, yang membutuhkan lebih banyak menara dan backhaul untuk mendukung implementasi Internet of Things (IoT), data center, dan cloud. Menurutnya, momentum ini juga menjadi waktu yang tepat bagi para penyedia menara untuk melakukan konsolidasi agar dapat mendukung terbentuknya jaringan netral di masa mendatang.
“Saatnya tower provider berkonsolidasi untuk mendukung terjadinya teknologi jaringan netral di waktu dekat ini,” tutur Sarwoto.
Sebelumnya, laporan keuangan tiga emiten besar menara hingga kuartal III/2025 menunjukkan pergerakan beragam pada rasio tenancy. PT Dayamitra Telekomunikasi Tbk. (Mitratel) menjadi satu-satunya yang mencatat kenaikan, sementara PT Sarana Menara Nusantara Tbk. (TOWR) dan PT Tower Bersama Infrastructure Tbk. (TBIG) justru mengalami penurunan.
Mitratel mencatat rasio tenancy sebesar 1,55 kali hingga kuartal III/2025, naik tipis dari 1,51 kali pada periode yang sama tahun sebelumnya. Perusahaan mengoperasikan 40.102 menara dengan 61.987 tenant, bertambah 698 menara baru dalam sembilan bulan pertama tahun ini.
Sebaliknya, TOWR mencatat penurunan rasio tenancy dari 1,64 kali pada 2024 menjadi 1,61 kali per kuartal III/2025, level terendah sejak 2018. TOWR kini mengoperasikan 36.049 menara dengan 58.213 tenant.
Sementara itu, TBIG mencatat rasio kolokasi sebesar 1,76 kali, turun dari 1,79 kali di akhir 2024 dan 1,83 kali pada kuartal I/2024. TBIG mengelola 24.318 menara dengan 42.771 penyewaan hingga September 2025.
