Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

Industri Ini Disebut Paling Terpukul Imbas Kebijakan Tarif Trump

Industri Ini Disebut Paling Terpukul Imbas Kebijakan Tarif Trump

Jakarta

Pengusaha menyampaikan sejumlah sektor yang paling terdampak dari kebijakan tarif resiprokal yang diterapkan oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Sektor tersebut di antaranya garmen, furniture hingga alas kaki.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Shinta Kamdani mengatakan kebijakan tersebut memberikan dampak negatif bagi kinerja ekspor serta industri dalam negeri. Trump diketahui mengumumkan kebijakan tarif resiprokal kepada sejumlah negara. Indonesia menjadi salah satu negara yang terkena kebijakan tersebut dengan tarif impor sebesar 32%.

“Ekspor Indonesia ke AS kemungkinan besar tidak akan berhenti total & daya saing komparatif produk ekspor Indonesia kemungkinan juga tidak berubah terlalu drastis karena begitu banyak negara yang terkena tarif tersebut. Namun, kami memproyeksikan penurunan demand ekspor di pasar AS dalam jangka pendek karena shock pasar terhadap inflasi yang dihasilkan dari penerapan tarif ini di pasar AS,” kata Shinta kepada detikcom, Jumat (4/4/2025).

Adapun efek lainnya, Shinta menyebut industri dengan pangsa pasar lebih besar ke AS akan lebih sulit bertahan dalam situasi ini. Menurut dia, setidaknya ada sejumlah sektor yang berdampak kebijakan tarif impor karena pasar ekspornya yang lebih besar ke AS, seperti garmen, alas kaki, furniture, dan perikanan.

“Dalam perkiraan sementara kami, sektor garment, sepatu, karet, perikanan, & furniture akan sangat terdampak karena share ekspornya yang besar ke AS & kondisi industrinya masing-masing yang memiliki korelasi supply chain dengan UMKM. Atau karena kurangnya fleksibilitas untuk menciptakan diversifikasi ekspor secara segera/immediate,” terang Shinta.

Sementara, untuk sektor lain seperti minyak kelapa sawit (CPO), biofuel, komponen produk elektronik, hingga mesin kendaraan dapat terkena dampak kebijakan tarif impor Trump. Meski begitu, Shinta menyebut sektor-sektor tersebut dapat bertahan karena lebih fleksibel dan permintaan dalam negeri masih ada.

“Untuk sektor-sektor lain seperti CPO, biofuel atau komponen produk elektronik, permesinan atau kendaraan juga terdampak negatif, tetapi sektor tersebut kami perkirakan bisa lebih resilient dan lebih fleksibel atau bisa mendiversifikasi demand produksinya ke negara tujuan lain atau karena demand pasar dalam negeri,” imbuh Shinta.

Sementara itu, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Anindya Novyan Bakrie mengatakan kebijakan tersebut akan berdampak signifikan pada neraca pembayaran, khususnya neraca perdagangan dan arus investasi. Apalagi, menurut dia, AS merupakan pemasok valuta asing terbesar, yang menyumbang surplus perdagangan sebesar US$ 16,8 miliar pada tahun 2024.

“Hampir semua ekspor komoditas utama Indonesia ke AS meningkat pada tahun 2024. Sebagian besar barang Indonesia yang diekspor ke AS adalah produk manufaktur, yaitu peralatan listrik, alas kaki, pakaian, bukan komoditas mentah,” kata Anindya dalam keterangannya.

Menurut Anindya, selama ini, produk Indonesia dikenakan tarif impor sekitar 10% di AS. Namun, faktanya, beberapa barang konsumsi sepenuhnya bebas bea masuk karena Indonesia menikmati fasilitas Preferensi Sistem Umum (The Generalized System of Preferences/GSP) yang diberikan oleh pemerintah AS kepada negara-negara berkembang.

Untuk memperkuat neraca perdagangan pasca-keputusan Trump, Anindya menilai negosiasi perdagangan dapat dilakukan lebih selektif. Fokus bisa dilakukan kepada industri padat karya terdampak secara vertikal, hulu hingga hilir. Selain itu, Indonesia perlu membuka pasar baru selain Asia Pasifik dan ASEAN, yakni pasar Asia Tengah, Turki dan Eropa, sampai Afrika dan Amerika Latin.

(acd/acd)

Merangkum Semua Peristiwa