Dari perspektif tata kelola, Pakar Administrasi Publik Andhyka Muttaqin menilai kebijakan Menteri Bahlil dalam memperkuat kepemilikan nasional di sektor pertambangan sudah sangat baik dan sejalan dengan Asta Cita yang digagas pemerintah Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Kendati demikian, kebijakan tersebut juga perlu diimbangi dengan pembaruan kontrak dan perjanjian kerja sama agar lebih berpihak kepada kepentingan nasional.
“Kalau kita ingin saham nasional meningkat, ya isi MOU-nya harus dikaji ulang dengan klasifikasi yang lebih menguntungkan Indonesia, bukan asing. Pernyataan Pak Bahlil itu sebenarnya bagus, tapi sering dipelintir. Beliau ini kan progresif, hanya saja narasinya perlu disampaikan dengan gaya komunikasi pejabat publik,” kata Andhyka.
Ia menambahkan, langkah pemerintah yang menata ulang izin tambang, membekukan izin yang tidak memenuhi syarat administratif, lalu membuka kembali setelah perbaikan dilakukan, menunjukkan arah tata kelola yang semakin baik dan akuntabel.
Menurutnya, keberanian pemerintah dalam memperbaiki sistem tambang dan memperbesar saham negara menunjukkan bahwa era “keruk sumber daya tanpa arah” mulai berakhir.
“Sekarang sudah mulai tertata, dan itu langkah yang positif. Pemerintah menunjukkan bahwa eksploitasi harus diimbangi dengan tanggung jawab lingkungan dan keberlanjutan,” ujarnya.
Dengan berbagai langkah tersebut, para akademisi menilai bahwa strategi Presiden Prabowo dengan motor penggerak Menteri ESDM Bahlil Lahadalia dalam memperkuat kemandirian energi dan sumber daya alam nasional sudah berada di jalur yang tepat. Tantangannya kini adalah menjaga konsistensi implementasi kebijakan, serta memastikan agar manfaat ekonomi benar-benar mengalir ke masyarakat.
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/4950973/original/088807500_1727085727-20240923-Smelter_PT_Freeport-PTFI_6.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)