Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

Hukum Puasa untuk Musafir, Ini Ketentuannya yang Wajib Diketahui!

Hukum Puasa untuk Musafir, Ini Ketentuannya yang Wajib Diketahui!

Jakarta, Beritasatu.com – Dalam Islam, terdapat berbagai kemudahan yang diberikan kepada umatnya dalam menjalankan ibadah, termasuk dalam hukum puasa bagi musafir.

Islam tidak membebani pemeluknya dengan aturan yang terlalu berat, terutama bagi mereka yang sedang dalam perjalanan jauh. Oleh karena itu, ada keringanan yang diberikan bagi seorang musafir terkait kewajiban berpuasa di bulan Ramadan.

Sering kali, menjelang Idulfitri, Anda melihat banyak orang yang melakukan perjalanan jauh atau safar, baik untuk mudik maupun keperluan lainnya.

Namun, apakah benar musafir boleh meninggalkan puasa? Apa saja syarat yang membolehkannya? Berikut ini penjelasan lengkap mengenai ketentuan berpuasa bagi musafir.

Hukum Berpuasa bagi Musafir

Dalam Islam, seorang musafir diberikan keringanan untuk tidak berpuasa selama Ramadan dan menggantinya di lain waktu. Hal ini berdasarkan firman Allah Swt:

“Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain”. (QS Al-Baqarah: 185)

Berdasarkan ayat tersebut, seorang musafir diperbolehkan untuk tidak berpuasa dengan syarat menggantinya setelah bulan Ramadan berakhir, sebelum Ramadan tahun berikutnya tiba.

Selain itu, musafir juga mendapatkan keringanan untuk mengqasar salat, yaitu menyingkat jumlah rakaat dalam salat wajib. Namun, ada beberapa ketentuan yang harus diperhatikan sebelum seorang musafir memutuskan untuk tidak berpuasa.

Syarat Musafir yang Diperbolehkan Tidak Berpuasa

Tidak semua orang yang bepergian dapat langsung meninggalkan puasa. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar musafir boleh tidak berpuasa, sebagaimana dijelaskan dalam kitab-kitab fikih, termasuk dalam pandangan Nahdlatul Ulama (NU). Berikut ini syarat-syaratnya.

1. Perjalanan yang ditempuh harus mencapai jarak minimal tertentu

Menurut pendapat Bani Umayyah, seseorang disebut musafir jika menempuh perjalanan empat burud atau sekitar 40-48 mil. Dalam kitab “Al-Fiqh Al-Manhaji”, Musthofa Al-Khin menyebutkan jarak minimal safar adalah 81 kilometer.

2. Perjalanan yang dilakukan harus bersifat mubah (diperbolehkan dalam Islam)

Safar yang bertujuan baik, seperti perjalanan kerja, pendidikan, atau mudik, diperbolehkan untuk tidak berpuasa. Jika perjalanan dilakukan untuk tujuan maksiat, maka tidak diperbolehkan mengambil rukhsah (keringanan) dalam ibadah.

3. Memulai perjalanan sebelum fajar

Jika seseorang telah keluar dari batas wilayah tempat tinggalnya sebelum fajar, maka dia boleh tidak berpuasa. Namun, jika dia baru berangkat setelah fajar, maka ia harus tetap berpuasa kecuali dalam kondisi darurat.

4. Sudah berada di luar batas tempat tinggalnya

Seseorang baru dianggap musafir jika telah keluar dari wilayah tempat tinggalnya. Jika masih berada dalam kota asal, maka tetap wajib berpuasa.

Lebih Utama Berpuasa atau Tidak?

Dalam Islam, ada perbedaan pendapat mengenai apakah lebih utama bagi musafir untuk tetap berpuasa atau memilih tidak berpuasa. Para ulama mengklasifikasikan kondisi musafir menjadi tiga kategori:

Jika berpuasa terasa berat dan menyulitkan

Jika perjalanan jauh menyebabkan kelelahan atau kesulitan yang berarti, maka lebih utama untuk tidak berpuasa.

Jika tidak merasa kesulitan

Jika seseorang merasa mampu berpuasa tanpa mengalami kesulitan, maka lebih utama tetap berpuasa, karena akan lebih mudah daripada harus menggantinya di lain waktu.

Jika puasa dapat membahayakan diri

Jika berpuasa dalam perjalanan bisa menyebabkan bahaya serius bagi kesehatan, maka berpuasa menjadi haram dan lebih baik ditinggalkan. Pendapat ini sesuai dengan hadis Rasulullah SAW:

“Bukan termasuk kebajikan berpuasa dalam perjalanan”. (HR Bukhari dan Muslim)

Hadis ini menunjukkan Islam selalu mengutamakan kemudahan dan tidak ingin membebani umatnya dengan hal-hal yang sulit.

Kapan Musafir Diperbolehkan Tidak Berpuasa?

Agar lebih jelas, berikut ini adalah beberapa situasi di mana musafir boleh meninggalkan puasa.

Jika safar dimulai sebelum fajar dan sudah diniatkan untuk tidak berpuasa

Dalam kondisi ini, seseorang sudah dianggap musafir sejak sebelum waktu Subuh, sehingga dia diperbolehkan untuk tidak berpuasa.

Jika perjalanan dilakukan setelah fajar

Jika seseorang baru memulai perjalanan setelah fajar, maka dia tetap boleh membatalkan puasanya jika mengalami kesulitan dalam perjalanan.

Jika sudah berniat puasa tetapi kemudian mengalami kesulitan dalam perjalanan

Jika seseorang telah berniat puasa tetapi kemudian merasa tidak mampu melanjutkannya, maka ia diperbolehkan membatalkan puasanya.

Berdasarkan penjelasan di atas, hukum puasa bagi musafir memiliki beberapa ketentuan yang harus dipahami. Oleh karena itu, bagi musafir yang mengalami kesulitan dalam berpuasa, Allah telah memberikan keringanan sebagai bentuk kasih sayang-Nya.

Merangkum Semua Peristiwa