Hujan Masih Ramai di Akhir Juni saat El Nino Tak Juga Signifikan

26 June 2023, 18:30

Jakarta, CNN Indonesia — Fenomena lautan yang memicu penurunan curah hujan dunia, El Nino, terdeteksi belum signifikan di saat faktor iklim lokal masih kuat. Alhasil, hujan masih banyak melanda.
Sebelumnya, Deputi Bidang Klimatologi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Urip Haryoko mengungkap peluang besar peralihan ke El Nino pada Juni.
“Dengan peluang >80%, ENSO Netral diprediksi mulai beralih menuju fase El Niño pada periode Juni 2023 dan diprediksi akan berlangsung dengan intensitas lemah hingga moderat,” ujarnya, beberapa waktu lalu.

Per pertengahan Juni, Koordinator Bidang Diseminasi Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG Hary Tirto Djatmiko lebih dari separuh wilayah RI sudah masuk musim kemarau.
“Berdasarkan jumlah ZOM (zona musim), sebanyak 51 persen wilayah Indonesia masuk musim kemarau,” katanya, dalam keterangan tertulis, Kamis (15/6).
Namun demikian, hujan masih berlangsung di banyak daerah, Aceh hingga Papua. Ada apa?
Faktor global
Dalam Ikhtisar Cuaca Harian Minggu 29 Juni, BMKG mengungkapkan seluruh faktor global yang bisa memengaruhi cuaca RI dalam kondisi tak signifikan.

Dalam catatan BMKG, indeks SOI mencapai -8.8 atau tidak signifikan.
SOI merupakan kependekan dari Southern Oscillation Index (SOI), yang adalah indeks standar perbedaan tekanan permukaan laut (SLP) di Pasifik barat dan timur, antara Tahiti dan Darwin, Australia.
Selain itu, indeks NINO 3.4 mencapai +0.89, “tidak signifikan.”
Indeks ini mengukur kondisi angin dan suhu permukaan laut di Pasifik yang memengaruhi curah hujan global. Makin positif, El Nino makin kuat. Jika sebaliknya, maka La Nina makin hadir.

BMKG juga menyebut Indeks DMI mencapai angka +0.00 yang masuk kategori tidak signifikan.
DMI, yang adalah kependekan dari Dipole Mode Index, menunjukkan indikasi kehadiran Indian Ocean Dipole (IOD) atau fenomena pemanasan permukaan laut di Samudera Hindia yang juga berpengaruh pada curah hujan.
Kondisi ketiga indeks yang tak signifikan itu, tulis BMKG, “secara umum tidak signifikan terhadap peningkatan hujan di wilayah Indonesia.”
Faktor regional
Otoritas cuaca juga mengungkap beberapa faktor regional menunjukkan variasi. Pertama, fenomena atmosfer Madden Jullian Oscillation (MJO) kurang berkontribusi terhadap proses pembentukan awan hujan di wilayah Indonesia.
Namun, kata BMKG, “gangguan fenomena MJO secara spasial terpantau aktif di wilayah Maluku Utara, Laut Halmahera, Papua Barat bagian tengah dan utara, Papua bagian utara, dan Samudera Pasifik utara Halmahera hingga Papua.”

Hal ini disebut berpotensi menyebabkan peningkatan pertumbuhan awan hujan di wilayah tersebut.
Kedua, gelombang ekuator. Itu terdiri dari:
a. Gelombang Rossby Ekuator merambat ke arah barat mencakup wilayah Samudera Hindia barat daya Lampung, Samudera Pasifik sebelah timur Filipina, Selat Torres, dan Laut Coral bagian utara, berpotensi menyebabkan peningkatan pertumbuhan awan hujan di wilayah tersebut.
b. Gelombang Kelvin merambat ke arah timur terpantau di Laut Andaman, Samudera Hindia sebelah barat aceh hingga Sumatera Barat, dan Samudera Pasifik timur Filipina hingga timur laut Papua. Ini berpotensi menyebabkan peningkatan pertumbuhan awan hujan di daerah-daerah itu.

c. Gelombang dengan low frequency yang cenderung persisten mencakup wilayah Filipina, Samudera Pasifik timur Filipina hingga utara Papua, dan Papua Nugini.
d. Kombinasi antara MJO, gelombang tipe Low Frequency, gelombang Kelvin, dan gelombang Rossby Ekuator pada wilayah dan periode yang sama yaitu di wilayah Samudera Pasifik sebelah timur Filipina hingga timur laut Papua. Itu dapat meningkatkan aktivitas konvektif serta pembentukan pola sirkulasi siklonik di wilayah tersebut.

Faktor lokal di halaman berikutnya…

Suhu Muka Laut Hingga Faktor Lokal

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

Tokoh

Partai

Institusi

K / L

BUMN

NGO

Organisasi

Perusahaan

Kab/Kota

Topik

Kasus

Agama

Brand

Club Sports

Event

Grup Musik

Hewan

Tanaman

Produk

Statement

Fasum

Transportasi